Saturday, June 29, 2013

ASUHAN KEPERAWATAN ALZHEIMER

BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Demensia merupakan masalah besar dan serius yang dihadapi oleh negara-negara maju,dan telah pula menjadi masalah kesehatan yang mulai muncul di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Hal ini disebabkan oleh makin mengemukanya penyakit-penyakit degeneratif serta makin meningkatnya usia harapan hidup di hampir seluruh belahan dunia. Studi prevalensi menunjukkan bahwa di Amerika Serikat,pada populasi di atas umur 65 tahun,persentase orang dengan penyakit Alzheimer (penyebab terbesar demensia) meningkat dua kali lipat setiap pertambahan umur lima tahun. Tanpa pencegahan dan pengobatan yang memadai,jumlah pasien dengan penyakit Alzheimer di negara tersebut meningkat dari 4,5 juta pada tahun 2000 menjadi 13,2 juta orang pada tahun 2050.1
Biaya yang dikeluarkan untuk merawat pasien dengan penyakit Alzheimer juga sangat luar biasa,sekitar US$83,9 milyar sampai US$100 milyar pertahun (data di Amerika Serikat tahun 1996). Biaya-biaya tersebut selain meliputi biaya medis,perawatan jangka-panjang,dan perawatan di rumah,juga perlu diperhitungkan hilangnya produktivitas pramuwerdha. Dari segi sosial,keterlibatan emosional pasien dan keluarganya juga patut menadi pertimbangan karena akan menjadi sumber morbiditas yang bermakna,antara lain akan mengalami stres psikologis yang bermakna.1
Secara klinis munculnya demensia pada seorang usia lanjut sering tidak disadari karena awitannya yang tidak jelas dan perjalanan penyakitnya yang progresif namun perlahan. Selain itu pasien dan keluarga juga sering menganggap bahwa penurunan fungsi kognitif yang terjadi pada awal demensia (biasanya ditandai dengan berkurangnya fungsi memori) merupakan suatu hal yang wajar pada seorang yang sudah menua. Akibatnya,penurunan fungsi kognitif terus akan berlanjut sampai akhirnya mulai mempengaruhi status fungsional pasien dan pasien akan jatuh pada ketergantungan kepada lingkungan sekitarnya. Saat ini telah disadari bahwa diperlukan deteksi dini terhadap munculnya demensia,karena ternyata berbagai penelitian telah menunjukkan bila gejala-gejala peurunan fungsi kognitif dikenali sejak awal maka dapat dilakukan upaya-upaya meningkatkan atau paling tidak mempertahankan fungsi kognitif agar tidak jatuh pada keadaan demensia.2
Selain peran pasien dan keluarga dalam pengenalan gejala-gejala penurunan fungsi kognitif dan demensia awal,dokter dan tenaga kesehatan lain juga mempunyai peran yang besar dalam deteksi dini dan terutama dalam pengelolaan pasien dengan penurunan fungsi kognitif ringan. Dengan diketahuinya berbagai faktor risiko (seperti hipertensi,diabetes melitus,strok,riwayat keluarga,dan lain-lain) berhubungan dnegan penurunan fungsi kognitif yang lebih cepat pada sebagian orang usia lanjut,maka diharapkan dokter dan tenaga kesehatan lain dapat melakukan upaya-upaya pencegahan timbulnya demensia pada pasien-pasiennya. Selain itu,bila ditemukan gejala awal penurunan fungsi kognitif pasien yang disertai beberapa faktor yang mungkin dapat memperburuk fungsi kognitif pasien maka seprah dokter dapat merencanakan berbagai upaya untuk memodifikasinya,baik secara farmakologis maupun non-farmakologis.1

1.2  Tujuan
Adapun tujuan dan manfaat dalam pembuatan makalah  ini adalah untuk memenuhi tugas dalam kepaniteraan klinik senior ilmu penyakit syaraf di Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan.


















BAB II
ISI
2.1 Definisi
Penyakit Alzheimer adalah penyebab terbesar terjadinya demensia dimana demensia adalah gangguan fungsi intelektual dan memori didapat yang disebabkan oleh penyakit otak,yang tidak berhubungan dengan gangguan tingkat kesadaran.Pasien dengan demensia harus mempunyai gangguan memori selain kemampuan mental lain seperti berpikir abstrak,penilaian,kepribadian,bahasa,praksis,dan visuospasial. Defisit yang terjadi harus cukup berat sehingga mempengaruhi aktivitas kerja dan sosial secara bermakna.2

2.2 Epidemiologi
Insidensi demensia meningkat secara bermakna seiring meningkatnya usia. Setelah usia 65 tahun,prevalensi demensia meningkat dua kali lipat setiap pertumbuhan usia lima tahun. Secara keseluruhan prevalensi demensia pada populasi berusia lebih dari 60 tahun adalah 5,6%. Penyebab tersering demensia di Amerika Serikat dan Eropa adalah penyakit Alzheimer,sedangkan di Asia diperkirakan demensia vaskular.1
            Dari seluruh penuduk sentenarian di Jepang,70% mengalami demensia dengan 76%-nya menderita penyakit Alzheimer. Berbagai penelitian menunjukkan laju insidensi  penyakit Alzheimer meningkat secara eksponensial seiring bertambahnya umur,walaupun terjadi penurunan insidensi pada usia 95 tahun yang diduga karena terbatasnya jumlah subyek di atas usia 90 tahun.1
            Proporsi perempuan yang mengalami penyakit Alzheimer lebih tinggi dibandingkan laki-laki (sekitar 2/3 pasien adalah perempuan). Hal ini disebabkan perempuan memiliki harapan hidup lebih baik dan bukan karena perempuan lebih mudah menderita penyakit ini. Tingkat pendidikan yang rendah juga disebutkan berhubungan dengan risiko terjadinya penyakit Alzheimer. Faktor-faktor risiko lain yang dari berbagai penelitian diketahui berhubungan dengan penyakit Alzheimer adalah hiperetensi,diabetes melitus,dislipidemia,serta berbagai faktor risiko timbulnya aterosklerosis dan gangguan sirkulasi pembuluh darah otak.1
            Mutasi beberapa gen familial penyakit Alzheimer pada kromosom 21,koromosim 14,dan kromosom 1 ditemukan pada kurang dari 5% pasien dengan penyakit Alzheimer. Sementara riwayat keluarga dan munculnya alel e4 dari Apolipoprotein E pada lebih dari 30% pasien dengan penyakit ini mengindikasikan adanya faktor genetik yang berperan pada munculnya penyakit ini. Seseorang dengan riwayat keluarga pada anggota keluarga tingkat pertama mempunyai risiko dua sampai tiga kali menderita penyakit Alzheimer,walaupun sebagaian besar pasien tidak mempunyai riwayat keluarga yang positif. Walaupun alel e4 Apo E bukan penyebab timbulnya demensianamun munculnya alel ini merupakan faktor utama yang mempermudah seseorang menderita penyakit Alzheimer.3

2.3 Patobiologi dan Patogenesis
Komponen utama patologi penyakit Alzheimer adalah plak senilis dan neuritik, neurofibrillary tangles,hilangnya neuron/sinaps, degenerasi granulovakular,dan Hirano bodies. Plak neuritik emngandung b-amyloid ekstraselular yang dikelilingi neuritis distrofik,sementara olak difus adalah istilah yang kadang digunakan untuk deposisi amyloid tanpa abnormalitas neuron. Deteksi adanya Apo E di dalam plak b-amyloid dan studi mengenai ikatan high-avidity antara Apo E dengan b-amylodi menunjukkan bukti hubungan antara amyloidogenesis dan Apo E. Plak neuritik juga mengandung protein komplemen,mikroglia yang teraktivasi,sitokin-sitokin,dan protein fase-akut,sehingga komponen inflamasi juga diduga terlibat pada patogenesis penyakit Alzheimer. Gen yang mengkode kromosom 21,menunjukkan hubungan potensial patologi penyakit Alzheimer dengan sindrom Down yang diderita oleh semua pasien penyakit Alzheimer uang muncul pada usia 40 tahun.3
            Pada gambar 1 dapat dilihat bagaimana pembentukan amyloid merupakan pencetus berbagai proses sekunder yang terlibat pada patogenesis penyakit Alzheimer (hipotesis kaskade amyloid) Berbagai mekanisme yang terlibat pada patogenesis tersebut bila dapat dimodifikasi dengan obat yang tepat diharapkan dapat mempengaruhi perjalanan penyakit Alzheimer.2
            Adanya dan jumlah plak senilis adalah satu gambaran patologis utama yang penting untuk diagnosis penyakit Alzheimer. Sebenarnya jumlah plak meningkat seiring usia,dan plak ini juga muncul di jaringan otak orang usia lanjut yang tidak demensia. Juga dilaporkan bahwa satu dari tiga orang berusia 85 tahun yang tidak demensia mempunyai deposisi amyloid yang cukup di korteks serebri untuk memenuhi kriteria diagnosis penyakit Alzheimer,namun apakah ini mencerminkan fase preklinik dari penyakit masih belum diketahui.3
            Lewy body adalah cytoplasmic inclusion intraneuron yang terwarnai dengan periodic acid-Schiff (PAS) dan ubiquitin,yang terdiri dari neurofilamen lurus sepanjang 7 sampai 20nm yang dikelilingi material amorfik. Lewy body dikenali melalui antigen terhadap protein neurofilamen yang terfosforilasi maupun yang tidak terfosforilasi,ubiquitin,dan protein presinap yang disebut α-synuclein. Jika pada seorang demensia tidak ditemukan gambaran patologik selain adanya Lewy body maka kondisi ini disebut diffuse Lewy body disease,semntara bila ditemukan juga plak amyloid dan neurofibrillary tangles maka disebut varian Lewy body dari penyakit Alzheimer.2
            Defisit neurotransmiter utama pada penyakit Alzheimer,juga pada demensia tipe lain,adalah sistem kolinergik. Walaupun sistem noradrenergik dan serotonin,somatostatin-like reactivity,dan corticotropin-releasing factor juga berpengaruh pada penyakit Alzheimer,defisit asetilkolin tetap menjadi proses utama penyakit dan menjadi target sebagian besar terapi yang tersedia saat ini untuk penyakit Alzheimer.3

2.4 Diagnosis
Menegakkan penyakit Alzheimer harus dilakukan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti,serta didukung oleh pemeriksaan penunjang yang tepat. Untuk diagnosis klinis penyakit Alzheimer diterbitkan suatu konsensus oleh the National Institute of Neurological and Communicative Disorders and Stroke (NINCDS) dan the Alzheimer’s Disease and Related Disorders Association (ADRDA) (Tabel 1)

2.4.1 Anamnesis
Anamnesis harus terfokus pada awitan (onset),lamanya,dan bagaimana laju progresi penurunan fungsi kognitif yang terjadi. Seorang usia lanjut dengan kehilangan memori yang berlangsung lambat selama beberapa tahun kemungkinan menderita penyakit Alzheimer. Hampir 75% pasien penyakit Alzheimer dimulai dengan gejala memori,tetapi gejala awal juga dapat meliputi kesulitan mengurus keuangan, berbelanja,mengikuti perintah,menemukan kata,atau mengemudi. Perubahan kepribadian,disinhibisi,peningkatan berat badan atau obsesi terhadap makanan mengarah pada fronto-temporal dementia (FTD),bukan penyakit Alzheimer. Pada pasien yang menderita penyakit serebrovaskular dapat sulit ditentukan apakah demensia yang terjadi adalah penyakit Alzheimer,demensia multi-infark,atau campuran keduanya.3
            Bila dikaitkan dengan berbagai penyebab demensia,makan anamnesis harus diarahkan pula pada berbagai fator risiko seperti trauma kepala berulang,infeksi susunan saraf pusat akibat sifilis,konsumsi alkohol berlebihan,intoksikasi bahan kimia pada pekerja pabrik,serta penggunaan obat-obat jangka panjang (sedatif dan tranquilizer). Riwayat keluarga juga harus selalu menjadi bagian dari evaluasi,mengingat bahwa pada penyakit Alzheimer terdapat kecenderungan familial1

2.4.2 Pemeriksaan Fisik dan Neurologis
Umumnya penyakit Alzheimer tidak menunjukkan gangguan sistem motork kecuali pada tahap lanjut. Kekakuan motorik dan bagian tubuh aksial,hemiparesis, parkinsonisme,mioklonus,atau berbagai gangguan motorik lain umumnya timbul pada FTD,Demensia dengan Lewy Body (DLB),atau demensia multi-infark.2

2.4.3 Pemeriksaan Kognitif dan Neuropsikiatrik
Pemeriksaan yang sering digunakan untuk evaluasi dan konfirmasi penurunan fungsi kognitif adalah the mini mental status examination (MMSE),yang dapat pula digunakan untuk memantau perjalanan penyakit. Pada penyakit Alzheimer defisit yang terlibat berupa memori episodik,category generation (menyebutkan sebanyak-banyaknya binatang dalam satu menit),dan  kemampuan visuokonstruktif. Defisit pada kemampuan verbal dan memori episodik visual sering merupakan abnormalitas neuropsikologis awal yang terlihat pada penyakit Alzheimer,dan tugas yang membutuhkan pasien untuk menyebutkan ulang daftar panjang kata atau gambar setelah jeda waktu tertentu akan menunjukkan defisit pada sebagian pasien penyakit Alzheimer.3
            Pengkajian status fungsional harus juga dilakukan. Dokter harus menentukan dampak kelainan terhadap memori pasien,hubungan di komunitas,hobi,penilaian, berpakaian,dan makan. Pengetahuan mengenai status fungsional pasien sehari-hari akan membantu mengatur pendekatan terapi dengan keluarga.1

2.4.4 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang juga direkomendasikan adalah CT/MRI kepala. Pemeriksaan ini dapat mengidentifikasi tumor primer atau sekunder,lokasi area infark,hematoma subdural,dan memperkirakan adanya hidrosefalus bertekanan-normal atau penyakit white matter yang luas. MRI dan CT juga dapat mendukung diagnosis penyakit Alzheimer,terutama bila terdapat atrofi hipokampus selain adanya atrofi kortikal yang difus. Single Photon Emission Computed Tomography (SPECT) dan Positron Emission Tomography (PET) dapat menunjukkan hipoperfusi atau hipometabolisme temporal-parietal pada penyakit Alzheimer.2

2.5 Penatalaksanaan
2.5.1 Penatalaksanaan Umum
Tujuan utama penatalaksanaan pada seorang pasien dengan demensia adalah mengobati penyebab demensia yang dapat dikoreksi dan menyediakan situasi yang nyaman dan mendukung bagi pasien dan pramuwerdhanya. Bila pasien cenderung depresi ketimbang demensia,maka depresi harus diatasi dengan adekuat. Anti depresi yang mempunyai efek samping minimal terhadap fungsi kognitif,seperti serotonin selective receptors inhibitor (SSRI),lebih dianjurkan pada pasien demensia dengan gejala depresi.1
            Imobilisasi,asupan makanan yang kurang,nyeri,konstipasi,infeksi,dan intoksikasi obat adalah beberapa faktor yang dapat mencetuskan gangguan perilaku,dan bila diatasi maka tidak perlu memberikan obat-obatan antipsikosis.
            Dalam mengelola pasien dengan demensia,perlu pula diperhatikan upaya-upaya mempertahankan kondisi fisik atau kesehatan pasien. Seiring dengan progresi demensia,maka banyak sekali komplikasi yang akan muncul seperti pneumonia dan infeksi saluran nafas bagian atas,septikemia,ulkus dekubitus,fraktur,dan berbagai masalah nutrisi. Kondisi-kondisi ini terkadang merupakan sebab utama kematian pasien dengan demensia. Pada stadium awal penyakit,seorang dokter harus mengusahakan berbagai aktivitas dalam rangka mempertahankan status kesehatan pasien,seperti melakukan latihan,mengendalikan hipertensi dan berbagai penyakit lain,memperhatikan higiene mulut dan gigi,serta mengupayakan kaca mata dan alat bantu dengar bila terdapat gangguan penglihatan atau pendengaran. Pada fase lanjut demensia,merupakan hal yang sangat penting untuk memenuhi kebutuhan dasar pasien seperti nutrisi,hidrasi,mobilisasi,dan perawatan kulit untuk mencegah ulkus dekubitus.2
            Kerja sama yang baik antara dokter dengan pramuwerdha juga sangat penting dalam pengelolaan secara paripurna pasien dengan demensia.

Tabel 1. Kriteria untuk Diagnosis Klinis Penyakit Alzheimer
Kriteria diagnosis klinis untuk probable penyakit Alzheimer mencakup:
-          Demensia yang tidtegakkan oleh pemeriksaan klinis dan tercata dnegan pemeriksaan the mini-mental test,Blessed Dementia Scale,atau pemeriksaan  sejenis,dan dikonfirmasi oleh tes neuropsikologis
-          Defisit pada dua atau lebih area kognitif
-          Tidak ada gangguan kesadaran
-          Awitan antara umur 40 dan 90,umunya setelah umur 65 tahun
-          Tidak adanya kelinan sistemik atau penyakit otak lain yang dapat menyebabkan defisit progresif pada memori dan kognitif
Diagnosis probable penyakit Alzheimer didukung oleh:
-          Penurunan progresif fungsi kognitif spesifik seperti afasia,apraksia,dan agnosia
-          Gangguan aktivitas hidup sehari-hari dan perubahan pola perilaku
-          Riwayat keluarga dengan gangguan yang sama,terutama bila sudah dikonfirmasi secara neuropatologi
-          Hasil laboratorium yang menunjukkan
-          Pungsi lumbal yang normal yang dievaluasi dengan teknik standar
Pola normal atau perubahan yang nonspesifik pada EEG,seperti peningkatan atktivitas slow-wave
-          Bukti adanya atrofi otak pada pemeriksaan CT yang progresif dan terdokumentasi oleh pemeriksaan serial
Gambaran klinis lain yang konsisten dengan diagnosis probable penyakit Alzheimer,setelah mengeksklusi penyebab demensia selain penyakit Alzheimer:
-          Perjalanan penyakit yang progresif namun lambat (plateau)
-          Gejala-gejala yang berhubungan seperti depresi,insomnia,inkontinensia,delusi, halusinasi,verbal katastrofik,emosional,gangguan seksual,dan penurunan berat badan
-          Abnormalitas neurologis pada beberapa pasien,terutama pada penyakit tahap lanjut,seperti peningkatan tonus otot,mioklunus,dan gangguan melangkah
-          Kejang pada penyakit yang lanjut
-          Pemeriksaan CT normal untuk usianya
Gambaran yang membuat diagnosis probable penyakit Alzheimer menjadi tidak cocok adalah:
-          Onset yang mendadak dan apolectic
-          Terdapat defisit neurologis fokal seperti hemiparesis,gangguan sensorik,defisit lapang pandang,dan inkoordinasi pada tahap awal penyakit;dan kehang atau gangguan melangkah pada saat awitan atau tahap awal perjalanan penyakit
Diagnosis possible penyakit Alzheimer:
-          Dibuat berdasarkan adanya sindrom demensia,tanpa adanya gangguan neurologis psikiatrik,atau sistemik alin yang dapat menyebabkan demensia,dan adandya variasi pada awitan,gejala klinis,atau perjalanan penyakit
-          Dibuat berdasarkan adanya gangguan otak atau sistemik sekunder yang cukup untuk menyebabkan demensia,namun penyebab primernya bukan merupakan penyabab demensia
Kriteria untuk diagnosis definite penyakit Alzheimer adalah:
-          Kriteria klinis untuk probable penyakit Alzheimer
-          Bukti histopatologi yang didapat dari biopsi atau atutopsi
Klasifikasi penyakit Alzheimer untuk tujuan penelitian dilakukan bila terdapat gambaran khusus yang mungkin merupakan subtipe penyakit Alzheimer,seperti:
-          Banyak anggota keluarga yang mengalami hal yang sama
-          Awitan sebelum usia 65 tahun
-          Adanya trisomi-21
-          Terjadi bersamaan dengan kondisi lain yang relevan seperti penyakit Parkinson


2.5.2 Pengobatan untuk Mempertahankan Fungsi Kognitif
Penyakit Alzheimer tidak dapat disembuhkan dan belum ada obat yang terbukti tinggi efektivitasnya. Selain mengatasi gejala perubahan tingkah lau dan membangun “rapport” dengan pasien,anggota keluarga,dan pramuwerdha,saat ini fokus pengobatan adalah pada defisit sistem kolinergik.
            Kolinesterase inhibitor. Tacrine (tetrahydroaminoacridine),donepezil, rivastigmin,dan galantamin adalah kolinesterasi inhibitor yang telah disetujui U.S Food and Drug Administration (FDA) untuk pengobatan penyakit Alzheimer. Efek farmakologik obat-obatan ini adalah dengan menghambat enzim kolinesterase,dengan meningkatnya kadar asetilkolin di jaringan otak. Dari keempat obat tersebut,tacrine saat ini jarang digunakan karena efek sampingnya ke organ hati (hepatotoksik). Donepezil dimulai pada dosis 5mg perhari,dan dosis dinaikkan menjadi 10mg perhari setelah satu bulan pemakaian. Dosis rivastagmin dinaikkan dari 15mg dua kali perhari menjadi 3mg dua kali perhari,kemudian 4,5mg dua kali perhari,sampai dosis maksimal 6mg dua kali sehari. Dosis dapat dinaikkan pada interval antara satu sampai empat minggu; efek samping umumnya lebih minimal bila peningkatan dosisnya dilakukan lebih lama. Sementara galantamin diberikan dengan dosis awal 4mg dua kali perhari,untuk dinaikkan menjadi 8mg dua kali perhari dan kemudian 12mg perhari. Seperti rivastigmin,interval peningkatan dosis yang lebih lama akan meminimalkan efek samping yang terjadi. Dosis harian efektif untuk masing-masing obat adalah 5 sampai 10mg untuk donepezil,6 sampai 12mg untuk rivastigmin,dan 16 sampai 24mg untuk galantamin. Efek samping yang dapat timbul pada pemakaian obat-obatan kolinesterase inhibitor ini antara lain adalah mual,muntah,dan diare,dapat pula timbul penurunan berat badan,insomnia,mimpi abnormal,kram otot, bradikardia,sinkop,dan fatig. Efek-efek samping tersebut umumnya muncul saat awal terapi,dapat dikurangi bila interval peningkatan dosisnya diperpanjang dan dosis rumatan diminimalkan. Efek samping pada gastrointestinal juga dapat diminimalkan bila obat-obat tersebut diberikan bersamaan dengan makan. Penggunaan bersama-sama lebih dari satu kolinesterase iinhibitor pada saat yang bersamaan belum pernah diteliti dan tidak dianjurkan. Kolinesterase inhibitor umumnya digunakan bersama-sama dengan memantin dan vitamin E.2,3
            Antioksidan. Antioksidan yang telah diteliti dan memberikan hasil yang cukup baik adalah alfa tokoferol (vitamin E). Pemberian vitamin E pada satu penelitian dapat memperlambat progresi penyakit Alzheimer menjadi lebih berat. Vitamin E telah banyak digunakan sebagai terapi tambahan pada pasien dengan penyakit Alzheimer dan demensia tipe lain karena harganya murah dan dianggap aman. Dengan mempertimbangkan stres oksidatif sebagai salah satu dasar proses menua yang terlibat pada patofisiologi penyakit Alzheimer,ditambah hasil yang didapat pada beberapa studi epidemiologis,vitamin E bahkan digunakan sebagai pencegahan primer demensia pada individu dengan fungsi kognitif normal. Namun suatu studi terakhir gagal membuktikan perbedaan efek terapi antara vitamin E sebagai obat tunggal dan plasebo terhadap pencegahan penurunan fungsi kognitif pada pasien-pasien dengan gangguan fungsi kognitif ringan. Efek terapi vitamin E pada pasien demensia maupun gangguan kognitif ringan tampaknya hanya bermanfaat bila dikombinasikan dengan kolinesterase inhibitor.1
            Memantin. Obat yang saat ini juga telah disetujui oleh FDA sebagai terapi pada demensia sedang dan berat adalah memantin,suatu antagonis N-metil-D-aspartat. Efek terapinya diduga adalah melalui pengaruhnya pada glutaminergic excitotoxicity dan fungsi neuron di hipokampus. Bila memantin ditambahkan pada pasien Alzheimer yang telah mendapat kolinesterase inhibitor dosis tetap, didapatkan perbaikan fungsi kognitif,berkurangnya penurunan status fungsional,dan berkurangnya gejala perubahan perilaku baru bila dibandingkan penambahan plasebo.2
            Dengan adanya bukti bahwa proses inflamasi pada jaringan otak terlibat pada patogenesis timbulnya penyakit Alzheimer,maka beberapa penelitian mencoba mendapatkan manfaat obat-obat antiinflamasi baik dalam hal pencegahan maupun terapi demensia Alzheimer. Hasil negatif (tidak berbeda dengan plasebo) ditunjukkan baik pada prednison,refocoxib,maupun naproxen,sehingga sampai saat ini tidak ada data yang mendukung penggunaan obat antiinflamasi dalam pengelolaan pasien demensia. Selain itu,walaupun beberapa studi epidemiologik menduga bahwa terapi sulih-estrogen mungkin dapat mengurangi insidensi demensia,namun penelitian klinis menunjukkan ternyata tidak ada manfaatnya pada perempuan menopause. Beberapa obat lain yang dari beberapa studi pendahuluan nampaknya punya potensi untuk dapat digunakan sebagai pencegahan dan pengobatan demensia diantaranya ginko biloba,huperzin A (kolinesterase inhibitor),imunisasi/vaksinasi terhadap penyakit ayloid,dan beberapa pendekatan yang bersifat neuroprotektif. 3


BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1  Kesimpulan
1.      Penyakit Alzheimer adalah penyebab terbesar terjadinya demensia
2.      Penyakit Alzheimer ditegakkan melalui pemeriksaan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti,serta didukung oleh pemeriksaan penunjang yang tepat
3.      Penyakit Alzheimer tidak dapat disembuhkan dan belum ada obat yang terbukti tinggi efektivitasnya

3.2  Saran
1.      Perlu peningkatan penyuluhan kesehatan secara umum khususnya tentang penyakit Alzheimer
2.      Perlu ditingkatkan peranan tenaga kesehatan baik di rumah sakit di dalam memberikan penyuluhan atau petunjuk tentang penyakit Alzheimer.



















Daftar Pustaka
1.      Bird TD,Miller BL.Alzheimer’s disease and other dementias.Dalam: Kasper DL,Braunwald E,Fauci AS,Hauser SL,Longo DL,penyunting. Harrison’s Principles of Internal Medicine,Edisi ke-16. New York: McGraw-Hill Medical Publishing Division;2005.h.2393-406
2.      Cummings JL. Alzheimer’s disease. N Engl J Med. 2004;351:56-67

3.      Rochmach W,Harimurti K. Demensia.Dalam: Sudoyo A,Setiyohadi B,Alwi I,Setiati S,penyunting. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi ke-4.Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;2006.h.1374-8

No comments:

Post a Comment