Saturday, June 29, 2013

Persiapan Jelang Dinas Perdana”

Mahasiswa Perawat: Persiapan Jelang Dinas Perdana”

Haloo..
Berhubung adik tingkat I pada awal Juli nanti akan menghadapi dinas perdana mereka di Rumah Sakit umum maupun swasta, saya sebagai kakak tingkat yang paling tidak pernah merasakan Dinas di rumah sakit swasta maupun negeri dalam beberapa bulan hanya ingin share pengalaman saya jelang Dinas perdana di Rumah Sakit saat tingkat I dulu..
Oke, berhubung para adik seluruhnya tinggal diasrama, kita mulai step nya dari kesiapan mental. Ini nih..
1. Mental
Jelang persiapan dinas, kalian harus Pede. Pede dengan catatan kalian tau berbagai tindakan yang telah diajarkan di kampus, toh, sebelum dinas kan ada ujian praktik jelang dinas kan. Yakinlah kalau kalian paham dan mengerti tindakan yang sudah diajarkan, jangan sementang kalian hanya tingkat I, kalian jadi leha-leha dan merasa masih junior. Ingat walaupun kalian masih junior, kalian dalam lingkup Poltekkes Kemenkes. Yang satu-satunya Politeknik Kesehatan Negeri yang ada di Lampung. Kalian harus pede,ingat, pede jangan kepedan yah, kalian harus tetep minta di awas kakak ruangan di setiap tindakan. apalagi kalian akan berada satu dinas dengan mahasiswa perawat kesehatan swasta lainnya.
Kalian jangan pernah terpengaruh dengan cerita film, bahwa di Rumah Sakit itu sarangnya hantu, sarangnya setan -_-. Yakinlah, ketika kamu sudah datang dan dinaskamu akan merasakan, betapa ramainya rumah sakit, disetiap saat! Ini khusus rumah sakit bidang kesehatan fisik ya, kalo rumah Sakit Jiwa, beda suasana.
2. Jaga Kesehatan
Jelang dinas Rumah Sakit, biasakan relax dan jangan dijadikan beban fikiran. Kamu gak akan dines kali ini saja, ditingkat II dan III juga kamu bakal ngerasain dines lebih tinggi levelnya, lebih ekstrem dan lebih menyenangkan, dinas ini seruu, beda dengan pembelajaran teori kalo di kelas. Jelang dinas, pastikan diri kamu fit, makan-makanan yang sehat, kurangi jajan, kalo perlu siapkan asupan suplemen, yang gak biasa minum susu, minum susu lah. Mudah-mudahan membantu kekebalan dan daya tahan tubuh kamu. Yang punya penyakit tertentu, minumlah obat secara teratur, supaya daya tahan tubuh kamu stabil. Ingat adik-adik.. saat dinas, kamu akan berhadapan dengan orang yang sakit, kalau tidak hati-hati dan jaga kesehatan, resiko tinggi kita kena tertular penyakit dari pasien.

3. Prepare APD(Alat Pelindung Diri)!!
INI PENTING!! Alat pelindung diri, kamu harus memilikinya sendiri, jangan mengaharapkan ruangan RS yang menyiapkannya dan memberikan sarung tangan atau masker untuk kita. Jarang. Rata-rata bagi mahasiswa, harus memiliki sendiri alat pelindung diri itu, seperti sarung tangan karet yang satu kali pakai, dan masker. Kalau bisa bagi pria dan wanita pakai masker yang di ikat saja deh, jangan masker yang nyantol di teling, karena terkadang masker yang jenis itu karetnya mudah melar, sedangkan kalau masker yang diikat seperti tali, itu lebh kuat, karena kita sendiri yang dapat mengatur kekencangan kaitan masker itu pada mulut dan hidung kita.
CUCI TANGAN lah! Jangan malas-malas cuci tangan! Di setiap ruangan biasanya selalu ada keran atau washtafel dan ada cairan antiseptik juga, biasakan. Biasakan dari sekarang kalau bisa, untuk cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan pada pasien. Jangan anggap sepele, karena lingkungan kita memiliki berbagai kuman, apalagi diarea ruangan pasien. Meskipun kalian hanya melakukan tindakan TTV, ayo, cuci tanganlah!jangan malas-malas. Gak mau kan, sudah capek-capek dinas, selesai dinas, dapet oleh-oleh penyakit dari Rumah Sakit?
4. ETIKA
Ini juga penting. Setiap yang dinas di rumah sakit, baik Tingkat I, II, III. Pernah merasa di EVA atau belum pernah merasa di EVA. Beretika lah, senyumlah pada seluruhnya.. pada pasien, kakak ruangan, perawat lain, pada dokter.. senyumlah ketika berpapasan.. atau tegurlah mereka dengan sapaan santun.. jangan biarkan almamater, dan diri kamu diingat karena tidak sopan santun dan tidak beretika. Terus… jangan pernaaah TERLAMBAT. Nih, misal jadwal masuk dinas pagi jam 8 yah.. Nah kamu udah stay disana jam setengah 8 paling telat. Karena jam setengah 8 itulah ada overan ruangan, untuk pergantian shift malam ke shift pagi. Biasanya kalau rumah sakit kota sistem ruangannya adalah Tim. Seluruh perawat dan mahasiswa diruangan itudibagi menjadi beberapa kelompok. Satu perawat jadi leader, dan beberapa perawat jadi anggota untuk beberapa ruangan atau beberapa pasien. Jadi kamu harus mencatat jelas perkembangan pasien yang sudah di jatah kan untukmu agar diberi tindakan secara baik, kemudian saat overan siang nanti, kamulah yang betanggungjawab dan bicara bagaimana perkembangan pasienmu.
Lalu.. jangan malu bertanya! Kalau kamu masih tingkat I, sudah sangat wajib bila kamu bertanya, tentang tindakan apa saja yang mungkin kamu bingung. Tenang, kakak ruangan gak seserem yang diceritain kakak tingkat kok, justru kakak ruangan akan seneng banget kalau adik mahasiswa selalu bertanya mengenai tindakan atau berbagai perkembangan pasien, si kakak ruangan bisa share info dan kamu makin banyak pengetahuan kan. Bertanya nya juga yang sopan, inget dek.. ingeeet!hehe
PERMISI! Permisilah, kemanapun kamu ingin keluar ruangan. Jangan selonong bleh. Beneran!kalo kamu memang ingin sholat di siang hari, ingin makan siang, permisilah, izinlah dulu sama kakak ruangan yang ada di ruangan. Jangan asal selonong. Tindakan kamu yang gak pernah izin, asal keluyuran tanpa izin, itu jadi catatan kamu seberapa baik etika kamu. Pasti kakak ruangan juga gak bakal menghalangi kamu kok, kalo memang alasan keluar ruangan itu jelas.
Kalau kamu sedang tidak ada pekerjaan diruangan, carilah pekerjaan, dekati kakak ruangan yaa supaya bisa tau tindakan. Jangan sampai duduk-duduk, apalagi smsan, BBM-an, Twitteran atau sejenisnya. Kamu datang ke RS itu untu dinas, cari ilmu lapangan, bukan untuk santai ya adik. Tahanlah hasratmu untuk membuka HP saat dinas. ETIKA ini juga sangat mempengaruhi penilaian kamu di ruangan loh. Biasanya pembimbing ruangan (CI) bekerja disetiap ruangan yang kamu tempati. Kalau kakak CI nya hari ini dapet shift pagi, jangan harap kamu bisa lewat dari pengawasan pembimbng ruangan. Ingat, teman-temannya, kakak ruangan lain juga akan mengawasi dan akan melaporkan segala hal yang kamu lakukan kalau menyimpang.
5. Pahami peralatan steril atau non steril
Kamu harus paham dulu dengan alat yang digunakan di Rumah Sakit. InsyaAllah peralatannya sama kok dengan peralatan di lab kita. Paham kalau needle pada spet atau jarum suntik pada suntikan itu steril, tidak boleh tersentuh tangan, paham kalau ujung selang infus sangat steril karena sebagai media masuknya cairan infus kepembuluh darah pasien. Paham yang mana bengkok, tempat pembuangan sampah saat tindakan, paham yang steril harus pakai sarung tangan, paham kalau di ruangan pernafasan pakai lah masker. Dan yang terpenting, BERTANGGUNGJAWAB atas segala peralatan diruangan, setelah melakukan tindakan, jangan lupa segera lakukan sterilisasi, bersihkan dengan antiseptik yang ada diruangan, jangan lupa keringkan dan cuci tanganmu sebersih mungkin. Peralatan juga jangan sampai hilang, selip, atau bahkan tertinggal di tempat pasien, jangan sampai yah, jangan juga peralatan jadi rusak, karena kalau terjadi hilang atau ruasak dan mahasiswa yang melakukannya, mahasiswa wajib mengganti peralatan yang telah dirusak.
6. TERAPEUTIK
Jangan lupa terapeutiknya sama pasien bila melakukan tindakan yah, ngobrol, beri ketenangan pasien, itu jadi poin tersendiri bagi pasien. Kalau kamu datang keruangan dengan wajah semangat dan berseri, tentu aura itu bisa tertular pada pasien untuk lebih bersemangat sembuh dan memberi seyuman pada pasien. Jangan muram dihadapan pasien, jangan cemberut, bisa-bisa pasien gakmau lagi di beri tindakan oleh kamu.
Oke, saya pikir cukup, itulah persiapannya jelang dinas peradana di Rumah Sakit saat tingkat I. Biasanya jika dirumah sakit negeri/umum kamu bisa lebih belajar, karena kakak ruangannya rata-rata mengajak untuk melakukan tindakan supaya kita bisa belajar dan berlatih. Kalau kakak ruangan tidak mengajak kalian untuk melakukan tindakan, kalian jangan diem saja.. tawarkan doong.. “Kak, mau melakukan tindakan ya?ikutan ya kak?” pasti kakaknya jawab oke.. dan kalian bisa ikut sambil membawa peralatannya mungkin?gak masalah toh, namanya juga proses pembelajaran di lapangan.
Kalau kamu dapet di RS Swasta juga jangan lupa begitu, menawarkan diri untuk membantu. Walaupun biasanya rumah sakit swasta belum mau membiarkan mahasiswa untuk melakukan tindakan walau diawasi sekali pun, paling tidak kamu bisa ikut untuk observasi, memperhatikan bagaimana kakak ruangan itu melakukan tindakan.
Persiapkan energi yang super yah.. biasanya tingkat I hanya dapet 2 shift, yaitu shift pagi dan shift siang, kamu harus membagi waktu dengan baik, karena disela kesenggangan kamu setelah pulang dinas pasti pekerjaanmu adalah mencatat! Mencatat LP(Laporan Pendahuluan)->biasanya tingkat I Lp nya masih KDM yah, bukan LP penyakit. Atau membuat ASKEP(Asuhan Keperawatan) dengan cara di tulis tangan di Folio. Dan kamu harus kuat!harus bisa!!
Apalagi pada bulan Juli ini kamu juga akan menghadapi bulan Ramadhan, dan kamu harus berpuasa saat dinas! Wow.. itu jadi tantangan tersendiri bagi kamu, dan jadi ladang amal kamu yang berlipat-lipat loh.. syukurilah. Bukankah menjenguk orang sakit itu pahalanya besar ya?apalagi kalau kamu ikut merawat orang yang sakit itu? : ) jangan fikirkan akan bete, lapar, haus, dan kesabaran diuji, itu semua jelas. Tapi kalau niatnya mencari ilmu dan amal, yakinlah akan di balas Pahala oleh Allah. Orang sakit, wajar dong sedikit rewel?kita sebagai perawat lah yang membantu meringankan masalahnya : )
Oke, kali ini cukup hehe. Itulah pesan saya, dan sedikit share pengalaman kepada adik-adik mahasiswa keperawatan tingkat I Poltekkes Kemenkes Tanjung karang angkatan 28, dan kepada seluruh mahasiswa Keperawatan se-Indonesia yang akan melakukan dinas(PKL) perdana di Rumah Sakit. Semoga bermanfaat!
Salam teman Sejawat!


ASUHAN KEPERAWATAN ALZHEIMER

BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Demensia merupakan masalah besar dan serius yang dihadapi oleh negara-negara maju,dan telah pula menjadi masalah kesehatan yang mulai muncul di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Hal ini disebabkan oleh makin mengemukanya penyakit-penyakit degeneratif serta makin meningkatnya usia harapan hidup di hampir seluruh belahan dunia. Studi prevalensi menunjukkan bahwa di Amerika Serikat,pada populasi di atas umur 65 tahun,persentase orang dengan penyakit Alzheimer (penyebab terbesar demensia) meningkat dua kali lipat setiap pertambahan umur lima tahun. Tanpa pencegahan dan pengobatan yang memadai,jumlah pasien dengan penyakit Alzheimer di negara tersebut meningkat dari 4,5 juta pada tahun 2000 menjadi 13,2 juta orang pada tahun 2050.1
Biaya yang dikeluarkan untuk merawat pasien dengan penyakit Alzheimer juga sangat luar biasa,sekitar US$83,9 milyar sampai US$100 milyar pertahun (data di Amerika Serikat tahun 1996). Biaya-biaya tersebut selain meliputi biaya medis,perawatan jangka-panjang,dan perawatan di rumah,juga perlu diperhitungkan hilangnya produktivitas pramuwerdha. Dari segi sosial,keterlibatan emosional pasien dan keluarganya juga patut menadi pertimbangan karena akan menjadi sumber morbiditas yang bermakna,antara lain akan mengalami stres psikologis yang bermakna.1
Secara klinis munculnya demensia pada seorang usia lanjut sering tidak disadari karena awitannya yang tidak jelas dan perjalanan penyakitnya yang progresif namun perlahan. Selain itu pasien dan keluarga juga sering menganggap bahwa penurunan fungsi kognitif yang terjadi pada awal demensia (biasanya ditandai dengan berkurangnya fungsi memori) merupakan suatu hal yang wajar pada seorang yang sudah menua. Akibatnya,penurunan fungsi kognitif terus akan berlanjut sampai akhirnya mulai mempengaruhi status fungsional pasien dan pasien akan jatuh pada ketergantungan kepada lingkungan sekitarnya. Saat ini telah disadari bahwa diperlukan deteksi dini terhadap munculnya demensia,karena ternyata berbagai penelitian telah menunjukkan bila gejala-gejala peurunan fungsi kognitif dikenali sejak awal maka dapat dilakukan upaya-upaya meningkatkan atau paling tidak mempertahankan fungsi kognitif agar tidak jatuh pada keadaan demensia.2
Selain peran pasien dan keluarga dalam pengenalan gejala-gejala penurunan fungsi kognitif dan demensia awal,dokter dan tenaga kesehatan lain juga mempunyai peran yang besar dalam deteksi dini dan terutama dalam pengelolaan pasien dengan penurunan fungsi kognitif ringan. Dengan diketahuinya berbagai faktor risiko (seperti hipertensi,diabetes melitus,strok,riwayat keluarga,dan lain-lain) berhubungan dnegan penurunan fungsi kognitif yang lebih cepat pada sebagian orang usia lanjut,maka diharapkan dokter dan tenaga kesehatan lain dapat melakukan upaya-upaya pencegahan timbulnya demensia pada pasien-pasiennya. Selain itu,bila ditemukan gejala awal penurunan fungsi kognitif pasien yang disertai beberapa faktor yang mungkin dapat memperburuk fungsi kognitif pasien maka seprah dokter dapat merencanakan berbagai upaya untuk memodifikasinya,baik secara farmakologis maupun non-farmakologis.1

1.2  Tujuan
Adapun tujuan dan manfaat dalam pembuatan makalah  ini adalah untuk memenuhi tugas dalam kepaniteraan klinik senior ilmu penyakit syaraf di Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan.


















BAB II
ISI
2.1 Definisi
Penyakit Alzheimer adalah penyebab terbesar terjadinya demensia dimana demensia adalah gangguan fungsi intelektual dan memori didapat yang disebabkan oleh penyakit otak,yang tidak berhubungan dengan gangguan tingkat kesadaran.Pasien dengan demensia harus mempunyai gangguan memori selain kemampuan mental lain seperti berpikir abstrak,penilaian,kepribadian,bahasa,praksis,dan visuospasial. Defisit yang terjadi harus cukup berat sehingga mempengaruhi aktivitas kerja dan sosial secara bermakna.2

2.2 Epidemiologi
Insidensi demensia meningkat secara bermakna seiring meningkatnya usia. Setelah usia 65 tahun,prevalensi demensia meningkat dua kali lipat setiap pertumbuhan usia lima tahun. Secara keseluruhan prevalensi demensia pada populasi berusia lebih dari 60 tahun adalah 5,6%. Penyebab tersering demensia di Amerika Serikat dan Eropa adalah penyakit Alzheimer,sedangkan di Asia diperkirakan demensia vaskular.1
            Dari seluruh penuduk sentenarian di Jepang,70% mengalami demensia dengan 76%-nya menderita penyakit Alzheimer. Berbagai penelitian menunjukkan laju insidensi  penyakit Alzheimer meningkat secara eksponensial seiring bertambahnya umur,walaupun terjadi penurunan insidensi pada usia 95 tahun yang diduga karena terbatasnya jumlah subyek di atas usia 90 tahun.1
            Proporsi perempuan yang mengalami penyakit Alzheimer lebih tinggi dibandingkan laki-laki (sekitar 2/3 pasien adalah perempuan). Hal ini disebabkan perempuan memiliki harapan hidup lebih baik dan bukan karena perempuan lebih mudah menderita penyakit ini. Tingkat pendidikan yang rendah juga disebutkan berhubungan dengan risiko terjadinya penyakit Alzheimer. Faktor-faktor risiko lain yang dari berbagai penelitian diketahui berhubungan dengan penyakit Alzheimer adalah hiperetensi,diabetes melitus,dislipidemia,serta berbagai faktor risiko timbulnya aterosklerosis dan gangguan sirkulasi pembuluh darah otak.1
            Mutasi beberapa gen familial penyakit Alzheimer pada kromosom 21,koromosim 14,dan kromosom 1 ditemukan pada kurang dari 5% pasien dengan penyakit Alzheimer. Sementara riwayat keluarga dan munculnya alel e4 dari Apolipoprotein E pada lebih dari 30% pasien dengan penyakit ini mengindikasikan adanya faktor genetik yang berperan pada munculnya penyakit ini. Seseorang dengan riwayat keluarga pada anggota keluarga tingkat pertama mempunyai risiko dua sampai tiga kali menderita penyakit Alzheimer,walaupun sebagaian besar pasien tidak mempunyai riwayat keluarga yang positif. Walaupun alel e4 Apo E bukan penyebab timbulnya demensianamun munculnya alel ini merupakan faktor utama yang mempermudah seseorang menderita penyakit Alzheimer.3

2.3 Patobiologi dan Patogenesis
Komponen utama patologi penyakit Alzheimer adalah plak senilis dan neuritik, neurofibrillary tangles,hilangnya neuron/sinaps, degenerasi granulovakular,dan Hirano bodies. Plak neuritik emngandung b-amyloid ekstraselular yang dikelilingi neuritis distrofik,sementara olak difus adalah istilah yang kadang digunakan untuk deposisi amyloid tanpa abnormalitas neuron. Deteksi adanya Apo E di dalam plak b-amyloid dan studi mengenai ikatan high-avidity antara Apo E dengan b-amylodi menunjukkan bukti hubungan antara amyloidogenesis dan Apo E. Plak neuritik juga mengandung protein komplemen,mikroglia yang teraktivasi,sitokin-sitokin,dan protein fase-akut,sehingga komponen inflamasi juga diduga terlibat pada patogenesis penyakit Alzheimer. Gen yang mengkode kromosom 21,menunjukkan hubungan potensial patologi penyakit Alzheimer dengan sindrom Down yang diderita oleh semua pasien penyakit Alzheimer uang muncul pada usia 40 tahun.3
            Pada gambar 1 dapat dilihat bagaimana pembentukan amyloid merupakan pencetus berbagai proses sekunder yang terlibat pada patogenesis penyakit Alzheimer (hipotesis kaskade amyloid) Berbagai mekanisme yang terlibat pada patogenesis tersebut bila dapat dimodifikasi dengan obat yang tepat diharapkan dapat mempengaruhi perjalanan penyakit Alzheimer.2
            Adanya dan jumlah plak senilis adalah satu gambaran patologis utama yang penting untuk diagnosis penyakit Alzheimer. Sebenarnya jumlah plak meningkat seiring usia,dan plak ini juga muncul di jaringan otak orang usia lanjut yang tidak demensia. Juga dilaporkan bahwa satu dari tiga orang berusia 85 tahun yang tidak demensia mempunyai deposisi amyloid yang cukup di korteks serebri untuk memenuhi kriteria diagnosis penyakit Alzheimer,namun apakah ini mencerminkan fase preklinik dari penyakit masih belum diketahui.3
            Lewy body adalah cytoplasmic inclusion intraneuron yang terwarnai dengan periodic acid-Schiff (PAS) dan ubiquitin,yang terdiri dari neurofilamen lurus sepanjang 7 sampai 20nm yang dikelilingi material amorfik. Lewy body dikenali melalui antigen terhadap protein neurofilamen yang terfosforilasi maupun yang tidak terfosforilasi,ubiquitin,dan protein presinap yang disebut α-synuclein. Jika pada seorang demensia tidak ditemukan gambaran patologik selain adanya Lewy body maka kondisi ini disebut diffuse Lewy body disease,semntara bila ditemukan juga plak amyloid dan neurofibrillary tangles maka disebut varian Lewy body dari penyakit Alzheimer.2
            Defisit neurotransmiter utama pada penyakit Alzheimer,juga pada demensia tipe lain,adalah sistem kolinergik. Walaupun sistem noradrenergik dan serotonin,somatostatin-like reactivity,dan corticotropin-releasing factor juga berpengaruh pada penyakit Alzheimer,defisit asetilkolin tetap menjadi proses utama penyakit dan menjadi target sebagian besar terapi yang tersedia saat ini untuk penyakit Alzheimer.3

2.4 Diagnosis
Menegakkan penyakit Alzheimer harus dilakukan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti,serta didukung oleh pemeriksaan penunjang yang tepat. Untuk diagnosis klinis penyakit Alzheimer diterbitkan suatu konsensus oleh the National Institute of Neurological and Communicative Disorders and Stroke (NINCDS) dan the Alzheimer’s Disease and Related Disorders Association (ADRDA) (Tabel 1)

2.4.1 Anamnesis
Anamnesis harus terfokus pada awitan (onset),lamanya,dan bagaimana laju progresi penurunan fungsi kognitif yang terjadi. Seorang usia lanjut dengan kehilangan memori yang berlangsung lambat selama beberapa tahun kemungkinan menderita penyakit Alzheimer. Hampir 75% pasien penyakit Alzheimer dimulai dengan gejala memori,tetapi gejala awal juga dapat meliputi kesulitan mengurus keuangan, berbelanja,mengikuti perintah,menemukan kata,atau mengemudi. Perubahan kepribadian,disinhibisi,peningkatan berat badan atau obsesi terhadap makanan mengarah pada fronto-temporal dementia (FTD),bukan penyakit Alzheimer. Pada pasien yang menderita penyakit serebrovaskular dapat sulit ditentukan apakah demensia yang terjadi adalah penyakit Alzheimer,demensia multi-infark,atau campuran keduanya.3
            Bila dikaitkan dengan berbagai penyebab demensia,makan anamnesis harus diarahkan pula pada berbagai fator risiko seperti trauma kepala berulang,infeksi susunan saraf pusat akibat sifilis,konsumsi alkohol berlebihan,intoksikasi bahan kimia pada pekerja pabrik,serta penggunaan obat-obat jangka panjang (sedatif dan tranquilizer). Riwayat keluarga juga harus selalu menjadi bagian dari evaluasi,mengingat bahwa pada penyakit Alzheimer terdapat kecenderungan familial1

2.4.2 Pemeriksaan Fisik dan Neurologis
Umumnya penyakit Alzheimer tidak menunjukkan gangguan sistem motork kecuali pada tahap lanjut. Kekakuan motorik dan bagian tubuh aksial,hemiparesis, parkinsonisme,mioklonus,atau berbagai gangguan motorik lain umumnya timbul pada FTD,Demensia dengan Lewy Body (DLB),atau demensia multi-infark.2

2.4.3 Pemeriksaan Kognitif dan Neuropsikiatrik
Pemeriksaan yang sering digunakan untuk evaluasi dan konfirmasi penurunan fungsi kognitif adalah the mini mental status examination (MMSE),yang dapat pula digunakan untuk memantau perjalanan penyakit. Pada penyakit Alzheimer defisit yang terlibat berupa memori episodik,category generation (menyebutkan sebanyak-banyaknya binatang dalam satu menit),dan  kemampuan visuokonstruktif. Defisit pada kemampuan verbal dan memori episodik visual sering merupakan abnormalitas neuropsikologis awal yang terlihat pada penyakit Alzheimer,dan tugas yang membutuhkan pasien untuk menyebutkan ulang daftar panjang kata atau gambar setelah jeda waktu tertentu akan menunjukkan defisit pada sebagian pasien penyakit Alzheimer.3
            Pengkajian status fungsional harus juga dilakukan. Dokter harus menentukan dampak kelainan terhadap memori pasien,hubungan di komunitas,hobi,penilaian, berpakaian,dan makan. Pengetahuan mengenai status fungsional pasien sehari-hari akan membantu mengatur pendekatan terapi dengan keluarga.1

2.4.4 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang juga direkomendasikan adalah CT/MRI kepala. Pemeriksaan ini dapat mengidentifikasi tumor primer atau sekunder,lokasi area infark,hematoma subdural,dan memperkirakan adanya hidrosefalus bertekanan-normal atau penyakit white matter yang luas. MRI dan CT juga dapat mendukung diagnosis penyakit Alzheimer,terutama bila terdapat atrofi hipokampus selain adanya atrofi kortikal yang difus. Single Photon Emission Computed Tomography (SPECT) dan Positron Emission Tomography (PET) dapat menunjukkan hipoperfusi atau hipometabolisme temporal-parietal pada penyakit Alzheimer.2

2.5 Penatalaksanaan
2.5.1 Penatalaksanaan Umum
Tujuan utama penatalaksanaan pada seorang pasien dengan demensia adalah mengobati penyebab demensia yang dapat dikoreksi dan menyediakan situasi yang nyaman dan mendukung bagi pasien dan pramuwerdhanya. Bila pasien cenderung depresi ketimbang demensia,maka depresi harus diatasi dengan adekuat. Anti depresi yang mempunyai efek samping minimal terhadap fungsi kognitif,seperti serotonin selective receptors inhibitor (SSRI),lebih dianjurkan pada pasien demensia dengan gejala depresi.1
            Imobilisasi,asupan makanan yang kurang,nyeri,konstipasi,infeksi,dan intoksikasi obat adalah beberapa faktor yang dapat mencetuskan gangguan perilaku,dan bila diatasi maka tidak perlu memberikan obat-obatan antipsikosis.
            Dalam mengelola pasien dengan demensia,perlu pula diperhatikan upaya-upaya mempertahankan kondisi fisik atau kesehatan pasien. Seiring dengan progresi demensia,maka banyak sekali komplikasi yang akan muncul seperti pneumonia dan infeksi saluran nafas bagian atas,septikemia,ulkus dekubitus,fraktur,dan berbagai masalah nutrisi. Kondisi-kondisi ini terkadang merupakan sebab utama kematian pasien dengan demensia. Pada stadium awal penyakit,seorang dokter harus mengusahakan berbagai aktivitas dalam rangka mempertahankan status kesehatan pasien,seperti melakukan latihan,mengendalikan hipertensi dan berbagai penyakit lain,memperhatikan higiene mulut dan gigi,serta mengupayakan kaca mata dan alat bantu dengar bila terdapat gangguan penglihatan atau pendengaran. Pada fase lanjut demensia,merupakan hal yang sangat penting untuk memenuhi kebutuhan dasar pasien seperti nutrisi,hidrasi,mobilisasi,dan perawatan kulit untuk mencegah ulkus dekubitus.2
            Kerja sama yang baik antara dokter dengan pramuwerdha juga sangat penting dalam pengelolaan secara paripurna pasien dengan demensia.

Tabel 1. Kriteria untuk Diagnosis Klinis Penyakit Alzheimer
Kriteria diagnosis klinis untuk probable penyakit Alzheimer mencakup:
-          Demensia yang tidtegakkan oleh pemeriksaan klinis dan tercata dnegan pemeriksaan the mini-mental test,Blessed Dementia Scale,atau pemeriksaan  sejenis,dan dikonfirmasi oleh tes neuropsikologis
-          Defisit pada dua atau lebih area kognitif
-          Tidak ada gangguan kesadaran
-          Awitan antara umur 40 dan 90,umunya setelah umur 65 tahun
-          Tidak adanya kelinan sistemik atau penyakit otak lain yang dapat menyebabkan defisit progresif pada memori dan kognitif
Diagnosis probable penyakit Alzheimer didukung oleh:
-          Penurunan progresif fungsi kognitif spesifik seperti afasia,apraksia,dan agnosia
-          Gangguan aktivitas hidup sehari-hari dan perubahan pola perilaku
-          Riwayat keluarga dengan gangguan yang sama,terutama bila sudah dikonfirmasi secara neuropatologi
-          Hasil laboratorium yang menunjukkan
-          Pungsi lumbal yang normal yang dievaluasi dengan teknik standar
Pola normal atau perubahan yang nonspesifik pada EEG,seperti peningkatan atktivitas slow-wave
-          Bukti adanya atrofi otak pada pemeriksaan CT yang progresif dan terdokumentasi oleh pemeriksaan serial
Gambaran klinis lain yang konsisten dengan diagnosis probable penyakit Alzheimer,setelah mengeksklusi penyebab demensia selain penyakit Alzheimer:
-          Perjalanan penyakit yang progresif namun lambat (plateau)
-          Gejala-gejala yang berhubungan seperti depresi,insomnia,inkontinensia,delusi, halusinasi,verbal katastrofik,emosional,gangguan seksual,dan penurunan berat badan
-          Abnormalitas neurologis pada beberapa pasien,terutama pada penyakit tahap lanjut,seperti peningkatan tonus otot,mioklunus,dan gangguan melangkah
-          Kejang pada penyakit yang lanjut
-          Pemeriksaan CT normal untuk usianya
Gambaran yang membuat diagnosis probable penyakit Alzheimer menjadi tidak cocok adalah:
-          Onset yang mendadak dan apolectic
-          Terdapat defisit neurologis fokal seperti hemiparesis,gangguan sensorik,defisit lapang pandang,dan inkoordinasi pada tahap awal penyakit;dan kehang atau gangguan melangkah pada saat awitan atau tahap awal perjalanan penyakit
Diagnosis possible penyakit Alzheimer:
-          Dibuat berdasarkan adanya sindrom demensia,tanpa adanya gangguan neurologis psikiatrik,atau sistemik alin yang dapat menyebabkan demensia,dan adandya variasi pada awitan,gejala klinis,atau perjalanan penyakit
-          Dibuat berdasarkan adanya gangguan otak atau sistemik sekunder yang cukup untuk menyebabkan demensia,namun penyebab primernya bukan merupakan penyabab demensia
Kriteria untuk diagnosis definite penyakit Alzheimer adalah:
-          Kriteria klinis untuk probable penyakit Alzheimer
-          Bukti histopatologi yang didapat dari biopsi atau atutopsi
Klasifikasi penyakit Alzheimer untuk tujuan penelitian dilakukan bila terdapat gambaran khusus yang mungkin merupakan subtipe penyakit Alzheimer,seperti:
-          Banyak anggota keluarga yang mengalami hal yang sama
-          Awitan sebelum usia 65 tahun
-          Adanya trisomi-21
-          Terjadi bersamaan dengan kondisi lain yang relevan seperti penyakit Parkinson


2.5.2 Pengobatan untuk Mempertahankan Fungsi Kognitif
Penyakit Alzheimer tidak dapat disembuhkan dan belum ada obat yang terbukti tinggi efektivitasnya. Selain mengatasi gejala perubahan tingkah lau dan membangun “rapport” dengan pasien,anggota keluarga,dan pramuwerdha,saat ini fokus pengobatan adalah pada defisit sistem kolinergik.
            Kolinesterase inhibitor. Tacrine (tetrahydroaminoacridine),donepezil, rivastigmin,dan galantamin adalah kolinesterasi inhibitor yang telah disetujui U.S Food and Drug Administration (FDA) untuk pengobatan penyakit Alzheimer. Efek farmakologik obat-obatan ini adalah dengan menghambat enzim kolinesterase,dengan meningkatnya kadar asetilkolin di jaringan otak. Dari keempat obat tersebut,tacrine saat ini jarang digunakan karena efek sampingnya ke organ hati (hepatotoksik). Donepezil dimulai pada dosis 5mg perhari,dan dosis dinaikkan menjadi 10mg perhari setelah satu bulan pemakaian. Dosis rivastagmin dinaikkan dari 15mg dua kali perhari menjadi 3mg dua kali perhari,kemudian 4,5mg dua kali perhari,sampai dosis maksimal 6mg dua kali sehari. Dosis dapat dinaikkan pada interval antara satu sampai empat minggu; efek samping umumnya lebih minimal bila peningkatan dosisnya dilakukan lebih lama. Sementara galantamin diberikan dengan dosis awal 4mg dua kali perhari,untuk dinaikkan menjadi 8mg dua kali perhari dan kemudian 12mg perhari. Seperti rivastigmin,interval peningkatan dosis yang lebih lama akan meminimalkan efek samping yang terjadi. Dosis harian efektif untuk masing-masing obat adalah 5 sampai 10mg untuk donepezil,6 sampai 12mg untuk rivastigmin,dan 16 sampai 24mg untuk galantamin. Efek samping yang dapat timbul pada pemakaian obat-obatan kolinesterase inhibitor ini antara lain adalah mual,muntah,dan diare,dapat pula timbul penurunan berat badan,insomnia,mimpi abnormal,kram otot, bradikardia,sinkop,dan fatig. Efek-efek samping tersebut umumnya muncul saat awal terapi,dapat dikurangi bila interval peningkatan dosisnya diperpanjang dan dosis rumatan diminimalkan. Efek samping pada gastrointestinal juga dapat diminimalkan bila obat-obat tersebut diberikan bersamaan dengan makan. Penggunaan bersama-sama lebih dari satu kolinesterase iinhibitor pada saat yang bersamaan belum pernah diteliti dan tidak dianjurkan. Kolinesterase inhibitor umumnya digunakan bersama-sama dengan memantin dan vitamin E.2,3
            Antioksidan. Antioksidan yang telah diteliti dan memberikan hasil yang cukup baik adalah alfa tokoferol (vitamin E). Pemberian vitamin E pada satu penelitian dapat memperlambat progresi penyakit Alzheimer menjadi lebih berat. Vitamin E telah banyak digunakan sebagai terapi tambahan pada pasien dengan penyakit Alzheimer dan demensia tipe lain karena harganya murah dan dianggap aman. Dengan mempertimbangkan stres oksidatif sebagai salah satu dasar proses menua yang terlibat pada patofisiologi penyakit Alzheimer,ditambah hasil yang didapat pada beberapa studi epidemiologis,vitamin E bahkan digunakan sebagai pencegahan primer demensia pada individu dengan fungsi kognitif normal. Namun suatu studi terakhir gagal membuktikan perbedaan efek terapi antara vitamin E sebagai obat tunggal dan plasebo terhadap pencegahan penurunan fungsi kognitif pada pasien-pasien dengan gangguan fungsi kognitif ringan. Efek terapi vitamin E pada pasien demensia maupun gangguan kognitif ringan tampaknya hanya bermanfaat bila dikombinasikan dengan kolinesterase inhibitor.1
            Memantin. Obat yang saat ini juga telah disetujui oleh FDA sebagai terapi pada demensia sedang dan berat adalah memantin,suatu antagonis N-metil-D-aspartat. Efek terapinya diduga adalah melalui pengaruhnya pada glutaminergic excitotoxicity dan fungsi neuron di hipokampus. Bila memantin ditambahkan pada pasien Alzheimer yang telah mendapat kolinesterase inhibitor dosis tetap, didapatkan perbaikan fungsi kognitif,berkurangnya penurunan status fungsional,dan berkurangnya gejala perubahan perilaku baru bila dibandingkan penambahan plasebo.2
            Dengan adanya bukti bahwa proses inflamasi pada jaringan otak terlibat pada patogenesis timbulnya penyakit Alzheimer,maka beberapa penelitian mencoba mendapatkan manfaat obat-obat antiinflamasi baik dalam hal pencegahan maupun terapi demensia Alzheimer. Hasil negatif (tidak berbeda dengan plasebo) ditunjukkan baik pada prednison,refocoxib,maupun naproxen,sehingga sampai saat ini tidak ada data yang mendukung penggunaan obat antiinflamasi dalam pengelolaan pasien demensia. Selain itu,walaupun beberapa studi epidemiologik menduga bahwa terapi sulih-estrogen mungkin dapat mengurangi insidensi demensia,namun penelitian klinis menunjukkan ternyata tidak ada manfaatnya pada perempuan menopause. Beberapa obat lain yang dari beberapa studi pendahuluan nampaknya punya potensi untuk dapat digunakan sebagai pencegahan dan pengobatan demensia diantaranya ginko biloba,huperzin A (kolinesterase inhibitor),imunisasi/vaksinasi terhadap penyakit ayloid,dan beberapa pendekatan yang bersifat neuroprotektif. 3


BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1  Kesimpulan
1.      Penyakit Alzheimer adalah penyebab terbesar terjadinya demensia
2.      Penyakit Alzheimer ditegakkan melalui pemeriksaan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti,serta didukung oleh pemeriksaan penunjang yang tepat
3.      Penyakit Alzheimer tidak dapat disembuhkan dan belum ada obat yang terbukti tinggi efektivitasnya

3.2  Saran
1.      Perlu peningkatan penyuluhan kesehatan secara umum khususnya tentang penyakit Alzheimer
2.      Perlu ditingkatkan peranan tenaga kesehatan baik di rumah sakit di dalam memberikan penyuluhan atau petunjuk tentang penyakit Alzheimer.



















Daftar Pustaka
1.      Bird TD,Miller BL.Alzheimer’s disease and other dementias.Dalam: Kasper DL,Braunwald E,Fauci AS,Hauser SL,Longo DL,penyunting. Harrison’s Principles of Internal Medicine,Edisi ke-16. New York: McGraw-Hill Medical Publishing Division;2005.h.2393-406
2.      Cummings JL. Alzheimer’s disease. N Engl J Med. 2004;351:56-67

3.      Rochmach W,Harimurti K. Demensia.Dalam: Sudoyo A,Setiyohadi B,Alwi I,Setiati S,penyunting. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi ke-4.Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;2006.h.1374-8

LAPORAN PENDAHULUAN GANGGUAN RASA NYAMAN NYERI

Laporan Pendahuluan Askep Nyeri
LAPORAN PENDAHULUAN
GANGGUAN PEMENUHAN RASA NYAMAN, NYERI

A.    Konsep Dasar
1.                   Definisi.
a.    Menurut Mc. Coffery (1979), mendefinisikan nyeri sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang yang keberadaannya diketahui hanya jika orang tersebut pernah mengalaminya.
b.      Menurut Wolf Weifsel Feurst (1972), mengatakan bahwa nyeri merupakan suatu perasaan menderita secara fisik dan mental atau perasaan yang bisa menimbulkan ketegangan.
c.       Menurut Keperawatan, nyeri adalah apapun yang menyakitkan tubuh yang dikatakan individu yang mengalaminya, yang ada kapan pun individu mengatakannya.
d.      Menurut International Association for Study of Pain (IASP), nyeri adalah sensori subjektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang terkait dengan kerusakan jaringan aktual maupun potensial atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan.

2.                   Istilah dalam nyeri
a.       Nosiseptor adalah serabut saraf yang mentransmisikan nyeri.
b.      Non-nosiseptor adalah serabut saraf yang biasanya tidak mentransmisikan nyeri.
c.       Sistem nosiseptif adalah sistem yang terlibat dalam transmisi dan persepsi terhadap nyeri.
d.      Ambang nyeri  adalah stimulus yang paling kecil yang akan menimbulkan nyeri.
e.       Toleransi nyeri adalah intensitas maksimum atau durasi nyeri yang dapat ditahan oleh individu.

3.      Sifat-sifat nyeri
a.       Nyeri melelahkan dan membutuhkan banyak energi.
b.      Nyeri bersifat subjektif dan individual.
c.       Nyeri tidak dapat dinilai secara objektif seperti sinar X dan lab darah.
d.      Perawat hanya dapat mengkaji nyeri pasien dengan melihat perubahan fisiologis, tingkah laku, dan dari pernyataan klien.
e.       Hanya pasien yang mengetahui kapan nyeri timbul dan seperti apa rasanya.
f.       Nyeri merupakan mekanisme pertahanan fisiologis.
g.      Nyeri merupakan tanda peringatan adanya suatu kerusakan jaringan.
h.      Nyeri mengawali ketidakmampuan.
i.        Persepsi yang salah tentang nyeri menyebabkan manajemen nyeri yang tidak optimal.
Secara ringkas sifat nyeri dapat disimpulkan sebagai berikut:
a.       Nyeri bersifat individu.
b.      Nyeri tidak menyenangkan.
c.       Merupakan suatu kekuatan yang mendominasi.
d.      Bersifat tidak berkesudahan.

4.      Fisiologis nyeri
            Untuk memudahkan dalam memahami nyeri, maka perlu mempelajari 3 komponen fisiologi nyeri, antara lain:
a.       Resepsi      : Proses perjalanan nyeri.
b.      Persepsi     : Kesadaran seseorang terhadap nyeri.
Adanya stimuli yang mengenai tubuh ( mekanik, termal, kimia ) akan menyebabkan pelepasan substansi kimia ( histamine, bradikinin, kalium ). Substansi tersebut menyebabkan nosiseptor bereaksi, apabila nosiseptor mencapai ambang nyeri maka akan timbul impuls saraf yang akan dibawa menghantarkan sensasi berupa sentuhan, getaran, suhu hangat dan tekanan halus. Reseptor terletak di struktur permukaan.
c.       Reaksi       : Respon fisiologis dan perilaku setelah mempersepsikan nyeri.

             Neuroregulator
a.       Substansi yang memberikan efek pada transmisi stimulus saraf, berperan penting pada pengalaman nyeri.
b.      Substansi ini ditemukan pada nociceptor yaitu pada akhir saraf dalam kornu dorsalis medulla spinalis dan pada tempat reseptor dalam saluran spinotalamik.
c.       Neororegulator ada 2 macam yaitu Neurotransmiter dan Neuromodulator.
d.      Neurotransmitter mengirimkan impuls elektrik  melewati celah sinaptik antara 2 serabut saraf. ( Contoh: supstansi P, serotonin, prostaglandin ).
e.       Neuromodulator memodifikasi aktivitas saraf dan mengatur transmisi stimulus saraf tanpa mentransfer secara langsung sinyal saraf yang melalui synaps. ( Contoh: endorphin, bradikinin ).
f.       Neuromodulator diyakini aktivitasnya secara tidak langsung bisa meningkatkan atau menurunkan efek sebagai neurotransmitter.

5.      Teory Gate Control
            Teori ini dikenal oleh Melzak dan Wall pada tahun 1965. Menurut teori ini, sinaps yang berada pada dorsal hom bekerja seperti sebuah pintu membuka atau menutup sehingga apabila ada rangsang nyeri pintu tersebut akan ditutup sehingga nyeri tersebut tidak sampai di otak atau pintu itu dibuka sehingga nyeri sampai ke otak. Hipotesis teori ini adalah apabila ada sejumlah impuls nyeri yang berjalan sepanjang serabut saraf tebal ( seperti: panas, dingin atau sentuhan), maka sejumlah impuls nyeri tersebut berusaha untuk dicegah dengan cara menutup pintu pada serabut saraf tersebut. Individu akan merasakan nyeri hanya jika pintu sinaps dibukivata atau impuls sangat dominan.


6.      Respon fisiologis terhadap nyeri
a.       Stimulasi Simpatik: ( nyeri ringan, moderat, dan superficial ).
1)      Dilatasi saluran bronchial dan peningkatan respirasi rate.
2)      Peningkatan heart rate.
3)      Vasokontriksi perifer, peningkatan Blood Pessure.
4)      Peningkatan nilai gula darah.
5)      Peningkatan kekuatan otot.
6)      Dilatasi pupil.
7)      Penurunan motilitas GI.
b.   Stimulus Parasimpatik ( nyeri berat dan dalam ).
1)      Muka pucat.
2)      Otot mengeras.
3)      Penurunan Heart Rate dan Blood Pressure.
4)      Nafas cepat dan irregular.
5)      Nausea dan Vomitus (Mual & Muntah).
6)      Kelelahan dan Keletihan.
7.      Respon tingkah laku terhadap nyeri
            Respon tingkah laku terhadap nyeri dapat mencakup:
a.       Pernyataan verbal (mengaduh, menangis, sesak napas, mendengkur).
b.      Ekspresi wajah (meringis, menggeletukkan gigi, menggigit bibir)
c.       Gerakan tubuh (gelisah, imobilisasi, ketegangan otot, peningkatan gerakan jari dan tangan.
d.      Kontak dengan orang lain/ interaksi sosial (menghindari percakapan, menghindari kontak sosial, penurunan rentang perhatian, fokus pada aktivitas menghilangkan nyeri.

8.      Respon individu terhadap nyeri
   Respon tubuh terhadap nyeri ada 3 tahap,  yaitu:
a.    Tahap aktivasi (activation)
        Dimulai saat pertama individu menerima rangsang nyeri sampai tubuh bereaksi terhadap nyeri yang meliputi : respon simpato adrenal, respon muskuler, dan respon emosional.

Respon Simpato Adrenal
Respon Muskuler
Respon Emosional
1.      Denyut nadi naik.
2.      Tekanan darah naik.
3.      Pernapasan naik.
4.      Berkeringat banyak.
5.      Mual dan muntah, karena darah mengalir dari otot visral ke otot paru, jantung, dan otot keras.
6.      Pucat.
7.      Dilatasi bronchial.
8.      Glikogenolisis.
9.      Pelepasan eritrosit dari limpa.
10.  Dilatasi pupil.
1.      Tensi otot naik.
2.      Otot kaku menggeliat sakit.
3.      Gelisah.
4.      Mengambil posisi tertentu.
5.      Imobilitas.
6.      Mengusap daerah yang nyeri.

                                               
1.      Bergejolak.
2.      Mudah tersinggung.
3.      Perubahan tingkah laku.
4.      Berteriak.
5.      Menangis.
6.      Diam.
7.      Kewaspadaan.

b.      Tahap Pemantulan (rebound).
   Pada tahap ini nyeri sangat hebat tetapi singkat. Pada tahap ini pula sistem saraf parasimpatis mengambil alih tugas, sehingga terjadi respon yang berlawanan terhadap tahap aktivasi.
c.       Tahap adaptasi (adaptation).
     Saat nyeri berlangsung lama tubuh mencoba untuk beradaptasi melalui peran endorthins. Reaksi adaptasi tubuh ini terhadap nyeri dapat berlangsung beberapa jam atau beberapa hari. Bila nyeri berkepanjangan maka akan menurunkan sekresi norepineprin sehingga individu merasa tidak berdaya, tidak berharga dan lesu.

9.      Fase Nyeri
           Menurut Meinhart dan McCaffery mendiskripsikan 3 fase pengalaman nyeri:
a.       Fase antisipasi, terjadi sebelum nyeri diterima.
   Fase ini bukan merupakan fase yang paling penting, karena fase ini bisa mempengaruhi dua fase lain. Pada fase ini memungkinkan seseorang belajar tentang nyeri dan upaya untuk menghilangkan nyeri tersebut. Peran perawat dalam fase ini sangat penting , terutama dalam memberikan informasi pada klien.
b.      Fase sensasi, terjadi saat nyeri terasa.
   Fase ini terjadi ketika klien merasa nyeri, karena nyeri itu bersifat subjektif, maka tiap orang dalam menyikapi nyeri juga berbeda-beda. Toleransi terhadap nyeri juga akan berbeda antara satu orang dengan yang lain. Orang yang mempunyai tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri tidak akan mengeluh nyeri dengan stimulus kecil, sebaliknya orang yang toleransi terhadap nyerinya rendah akan mudah merasa nyeri dengn stimulus nyeri kecil. Klien dengan tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri mampu menahan nyeri tanpa bantuan, sebaliknya orang toleransi terhadap nyerinya rendah sudah mencari upaya pencegahan nyeri, sebelum nyeri datang. Keberadaan enkefalin dan endorphin membantu menjelaskan bagaimana orang yang berbeda merasakan tingkat nyeri dari stimulus yang sama. Kadar endorphin tiap individu, individu dengan endorphin tinggi sedikit merasakan nyeri dan individu dengan sedikit endorphin merasakan nyeri lebih besar.
c.       Fase akibat (aftermath)
   Fase ini terjadi saat nyeri sudah berkurang atau hilang. Pada fase ini klien masih membutuhkan kontrol dari perawat, karena nyeri bersifat krisis, sehingga dimungkinkan klien mengalami gejala pasca nyeri. Apabila klien mengalami episode nyeri berulang, maka respon akibat (aftermath) dapat menjadi masalah kesehatan yang berat. Perawat berperan dalam membantu memperoleh kontrol diri untuk meminimalkan rasa takut akan kemungkinan nyeri berulang.

10.  Klasifikasi nyeri
a.       Berdasarkan sumbernya
1)      Cutaneus/ superficial, yaitu nyeri yang mengenai kulit atau jaringan subkutan. Biasanya bersifat burning (seperti terbakar).
Contoh: Terkena ujung pisau atau tergunting
2)      Deep somatic/ nyeri dalam, yaitu nyeri yang muncul dari ligament, pembuluh darah, tendon dan saraf, nyeri menyebar dan lebih lama daripada cutaneus.
Contoh: Sprain sendi
3)      Visceral (pada organ dalam), stimulasi reseptor nyeri dalam rongga abdomen, cranium dan thorak. Biasanya terjadi karena spasme otot, ischemia, regangan jaringan.
b.      Berdasarkan Penyebabnya
1)      Fisik
Bisa terjadi karena stimulus.
Contoh: fraktur femur
2)      Psycogenik
Terjadi karena sebab yang kurang jelas/ susah diidentifikasi, bersumber dari emosi/ psikis dan biasanya tidak disadari.
Contoh: orang yang marah-marah, tiba-tiba merasa nyeri pada dadanya.
c.       Berdasarkan lama/ durasi
1)      Nyeri akut
            Nyeri yang terjadi segera setelah tubuh mengalami cedera, atau intervensi bedah dan memiliki awitan yang cepat, dengan intensitas bervariasi dari berat sampai ringan. Fungsi nyeri ini adalah sebagai pemberi peringatan akan adanya cedera atau penyakit yang akan datang. Nyeri ini kadang bisa hilang sendiri tanpa adanya intervensi medis, setelah keadaan pulih pada area yang rusak.
2)      Nyeri kronik
            Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermiten yang menetap sepanjang suatu periode tertentu, berlangsung lama, intensitas bervariasi, dan biasanya berlangsung lebih dari 6 bulan. Nyeri ini disebabkan oleh kanker yang tidak terkontrol, karena pengobatan kanker tersebut atau karena gangguan progresif lain. Nyeri ini dapat berlangsung terus sampai kematian. Klien yang mengalami kronis akan mengalami periode remisi (gejala hilang sebagian/ keseluruhan) dan eksaserbasi (keparahan meningkat). Nyeri ini biasanya tidak memberikan respon terhadap pengobatan yang diarahkan pada penyebabnya. Nyeri ini merupakan penyebab utama ketidakmampuan fisik dan psikologis. Sifat nyeri kronis yang tidak dapat diekspresikan membuat klien menjadi frustasi dan seringkali mengarah pada depresi psikologis. Individu yang mengalam kronik akan timbul perasaan yang tidak aman, karena ia tidak tahu apa yang akan dirasakan dari hari ke hari.

    Perbedaan nyeri akut dan nyeri kronis
Nyeri akut
Nyeri kronik
1.   Lamanya dalam hitungan menit (lamanya 1 detik sampai kurang dari 6 bulan).
2.   Ditandai dengan peningkatan BP, nadi, dan respirasi.
3.   Respon pasien: fokus pada nyeri, menyatakan nyeri dengan menangis atau mengerang.
4.   Tingkah laku menggosok bagian yang nyeri.
1.   Lamanya dalam hitungan bulan (> 6 bulan).

2.   Fungsi fisiologis bersifat normal.

3.   Tidak ada keluhan nyeri.


4.   Tidak ada aktifitas fisik sebagai respon terhadap nyeri.

d.      Berdasarkan lokasi/ letak
1)      Radiating pain
Nyeri menyebar dari sumber nyeri ke jaringan di dekatnya (contoh: cardiac pain).
2)      Reffered pain
Nyeri di rasakan pada bagian tubuh tertentu yang diperkirakan berasal dari jaringan penyebab.
3)      Intracable pain
Nyeri yang sangat susah dihilangkan (contoh: nyeri kanker maligna).
4)      Phantom pain
Sensasi nyeri dirasakan pada bagian tubuh yang hilang (contoh: bagian tubuh yang di amputasi) atau bagian tubuh yang lumpuh karena injury medulla spinalis.

11.  Faktor yang mempengaruhi respon nyeri
a.       Usia
      Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat harus mengkaji respon nyeri pada anak. Pada orang dewasa kadang melaporkan nyeri jika sudah patologis dan mengalami perubahan fungsi. Pada lansia cenderung memendam nyeri yang dialami, karena mereka menganggap nyeri adalah hal yang alamiah yang harus dijalani dan mereka takut kalau mengalami penyakit berat atau meninggal jika nyeri diperiksakan.
b.      Jenis Kelamin
      Gill (1990) mengungkapkan laki-laki dan wanita tidak berbeda secara signifikan dalam merespon nyeri, justru lebih dipengaruhi faktor budaya (contoh: tidak pantas kalau laki-laki mengeluh nyeri, wanita boleh mengeluh nyeri).
c.       Kultur
      Orang belajar dari budayanya, bagaimana seharusnya mereka meresapon nyeri (contoh: suatu daerah yang menganut kepercayaan bahwa nyeri adalah akibat dari kesalahannya sendiri).
d.      Makna nyeri
      Berhubungan dengan bagaimana pengalaman seseorang terhadap nyeri dan bagaimana mengatasinya.
e.       Perhatian
      Tingkat seorang klien memfokuskan perhatian pada nyeri dapat mempengaruhi persepsi nyeri. Menurut Gill (1990), perhatian yang meningkat dihubungkan dengan nyeri yang meningkat, sedangkan upaya distraksi dihubungkan dengan respon nyeri yang menurun. Teknik relaksasi, guided imagery merupakan teknik untuk mengatasi nyeri.
f.       Ansietas
      Cemas meningkatkan persepsi terhadap nyeri dan nyeri bisa menyebabkan seseorang cemas.
g.      Pengalaman masa lalu
       Seseorang yang pernah berhasil mengatasi nyeri di masa lampau dan saat ini nyeri yang lama timbul kembali, maka ia akan lebih mudah mengatasi nyerinya. Mudah tidaknya seseorang mengatasi nyeri tergantung pengalaman di masa lalu dalam mengatasi nyeri.
h.      Pola koping
       Pola koping adaptif akan mempermudah seseorang mengatasi nyeri dan sebaliknya koping maladaptif akan menyulitkan seseorang dalam mengatasi nyeri.
i.        Support keluarga dan sosial
      Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung kepada anggota keluarga atau teman dekat untuk memperoleh dukungan, bantuan dan perlindungan.
          Jenis Penyebab Nyeri
Jenis penyebab
Dasar fisiologis
1.      Mekanik
- Trauma jaringan (ex: operasi).
- Perubahan jaringan
   (ex:edema).
- Penyumbatan pada saluran
   tubuh.
- Tumor.
- Spasme otot.
2.      Termal
Panas/ dingin (ex: combustio).
3.      Kimia
- Iskemia jaringan karena
   sumbatan arteri koroner.
- Spasme otot.
Kerusakan jaringan, iritasi langsung pada reseptor nyeri, inflamasi.
- Penekanan pada reseptor nyeri
- Distensi pada lumen
- Penekanan pada reseptor nyeri, iritasi ujung saraf.
- Stimulasi pada reseptor nyeri.
- Kerusakan jaringan, perangsangan pada reseptor nyeri.
- Perangsangan pada reseptor nyeri karena akumulasi asam laktat atau zat kimia lain seperti asam laktat pada jaringan.
- Sekunder terhadap stimulasi mekanik yang menyebabkan iskemia jaringan.


12.    Management Nyeri
a.   Management Farmakologi, terdiri atas:
1)    Analgesik non opioids
Termasuk nonsteroidal anti inflamatory drugs ( NSAIDS ), seperti: Aspirin, acetaminophen, dan ibuprofen. Menurut American Pain Society, obat-obatan ini bekerja pada saraf perifer di daerah luka dan menurunkan tingkat/ level inflamasi.
2)    Analgesik opioids
Analgesik opioids termasuk opium derivate, seperti morfin dan kodein. Obat-obat ini bekerja dengan cara mengubah mood, perhatian, perasaan pasien menjadi lebih baik, dan lebih nyaman walaupun terdapat nyeri.
3)    Analgesik adjuvant.
Analgesik adjuvant adalah terapi pengobatan selain menggunakan analgesic, tetapi dapat mengurangi tipe-tipe nyeri kronik. Contohnya Diazepam (Valium) yang dapat menggunakan rasa nyeri pada saat terjadi spasme otot membantu bisa tidur nyenyak.
b.   Management non Farmakologi, terdiri atas:
1)   Intervensi fisik
Tujuan dari intervensi fisik adalah:
a)      Membuat nyaman.
b)      Mengurangi disfungsi fisik.
c)      Menormalkan respon fisiologis.
d)     Mengurangi ketakutan.
2)   Cutaneous Stimulation
Yang termasuk cutaneous stimulation:
a)      Pemijatan/massage
b)      Kompres panas/dingin
c)      Asupressure
d)     Contralateral Stimulation
3)   Immobilisasi
     Biasanya korban tidur di splint yang biasanya diterapkan pada saat kontraktur atau terjadi ketidakseimbangan otot. Splint ini harus diubah posisinya tiap 30 menit untuk mencegah terjadinya penyakit baru seperti dicubitus.
4)   TENS
     Transcutaneous electrice nerve stimulation (TENS) adalah noninvasive, teknik control nyeri nonalgesic untuk klien dengan nyeri akut ataupun kronik.
5)   Akupuntur
     Akupuntur telah diterapkan di China dan mendapat perhatian tinggi dari Amerika Utara. Biasanya digunakan untuk nyeri akut.
6)   Placebo
     Placebo adalah salah satu bentuk treatment seperti medikasi atau tindakan keperawatan ya ng menghasilkan efek pada klien, bahwa tindakan yang dilakukan atau yang diberikan perawat dapat menyembuhkan penyakit.
7)   Distraksi
     Contoh dari distraksi adalah pada saat klien dipindahkan dari ruang bedah mungkin tidak merasakan nyeri saat melihat pertandingan sepak bola di televisi, tapi nyeri akan dirasakan lagi pada saat pertandingan itu sudah selesai.
8)   Hypnosis
     Hypnosis digunakan untuk memfokuskan konsentrasi dan meminimalisir distraksi.
9)   Relaksasi
Macam-macam teknik relaksasi : meditasi, yoga, dan latihan relaksasi progresif. Teknik ini tidak dilakukan pada pasien yang nyeri akut karena ketidakmampuan berkonsentrasi. Latihan relaksasi progresif mencakup latihan control nafas, kontraksi, dan relaksasi otot.



B.     Asuhan Keperawatan
1.      Pengkajian
Pengkajian nyeri akurat penting untuk upaya penatalaksanaan nyeri yang afektif. Karena nyeri merupakan pengalaman yang subjektif dan dirasakan secara berbeda pada masing-masing individu, maka perawat perlu mengkaji semua factor yang mempengaruhi nyeri, seperti factor fisiologis, psikologis, perilaku, emosional, dan sosiokultural. Pengkajian nyeri terdiri atas dua komponen utama, yakni (a) riwayat nyeri untuk mendapatkan data dari klien dan (b) observasi langsung pada respon perilaku dan fisiologis klien. Tujuan pengkajian adalah untuk mendapatkan pemahaman objektif terhadap pengalaman subjek. Pengkajian dapat dilakukan dengan cara PQRST :
·           P (pemicu) yaitu faktor yang mempengaruhi gawat atau ringannya
                            nyeri.
·           Q (quality) dari nyeri, apakah rasa tajam, tumpul atau tersayat.
·           R (region) yaitu daerah perjalanan nyeri.
·           S (severty) adalah keparahan atau intensits nyeri.
·           T (time) adalah lama/waktu serangan atau frekuensi nyeri.
a.      Riwayat  Nyeri
Saat mengkaji riwayat nyeri, perawat sebaiknya memberikan klien kesempatan untuk mengungkapkan cara pandang mereka terhadap nyeri dan situasi tersebut dengan kata-kata mereka sendiri. Langkah ini akan membantu perawt memahami makna nyeri bagi klien dan bagaimana ia berkoping terhadap aspek, antara lain :
1). Lokasi
Untuk menentukan lokasi nyeri yang spesifik, minta klien menunjukkan area nyerinya. Pengkajian ini biasanya dilakukan dengan bantuan gambar tubuh. Klien biasanya menandai bagian tubuhnya yang mengalami nyeri. Ini sangat bermanfaat, terutama untuk klien yang memiliki lebih dari satu sumber nyeri.
2). Intensitas Nyeri
Penggunaan skala intensitas nyeri adalah metode yang mudah dan terpercaya untuk menentukan intensitas nyeri pasien. Skala nyeri yang paling sering digunakan adalah rentang 0-5 atau 0-10. Angka “0” menandakan tidak nyeri sama sekali dan angka tertinggi menandakan nyeri “terhebat” yang dirasakan klien. Intensitas nyeri dapat diketahui dengan bertanya kepada pasien melalui skala nyeri wajah, yaitu Wong-Baker FACES Rating Scale yang ditujukan untuk klien yang tidak mampu menyatakan intensitas nyerinya melalui skala angka. Ini termasuk anak-anak yang tidak mampu berkomunikasi secara verbal dan lan sia yang mengalami gangguan komunikasi.


Keterangan
·            0         :  Tidak nyeri
·                                                     1-3  : Nyeri ringan (secara obyektif klien dapat  berkomunikasi dengan baik).
·                                                     4-6    : Nyeri sedang (secara obyektif klien mendesis, menyeringai, dapat menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskribsikan nyeri, dapat mengikuti perintah dengan baik).
·                                                     7-9     : Nyeri berat (secara obyektif klien terkadang tidak dapat mengikuti perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikan nyeri, tidak dapat diatasi dengan alih posisi, napas panjang dan distraksi.
·                                                     10 :Nyeri sangat berat (klien sudah tidak bisa                                                                                             berkomunikasi).

3). Kualitas Nyeri
     Terkadang nyeri bisa terasa seperti “dipukul-pukul” atau “ditusuk-tusuk”. Perawat perlu mencatat kata-kata yang digunakan klien untuk menggambarkan nyerinya sebab informasi yang akurat dapat berpengaruh besar pada diagnosis dan etiologi nyeri serta pilihan tindakan yang diambil.
4). Pola
     Pola nyeri meliputi: waktu awitan, durasi/lamanya nyeri dan kekambuhan atau interval nyeri. Karenanya, perawat perlu mengkaji kapan nyeri dimulai, berapa lama nyeri berlangsung, apakah nyeri berulang dan kapan nyeri terakhir kali muncul.
5). Faktor  Presipitasi
     Terkadang aktivitas tertentu dapat memicumunculnya nyeri. Sebagai contoh: aktivitas fisik yang berat dapat menimbulkan nyeri dada. Selain itu, faktor lingkungan (lingkungan yang sangat dingin atau sangat panas), stresor fisik dan emosional juga dapat memicu munculnya nyeri.          
6). Gejala yang menyertai
     Gejala ini meliputi: mual, muntah, pusing dan diare. Gejala tersebut bisa disebabkan oleh awitan nyeri atau oleh nyeri itu sendiri.
7). Pengaruh aktifitas sehari-hari
     Dengan mengetahui sejauh mana nyeri mempengaruhi aktivitas harian klien akan akan membantu perawat memahami persepsi klien tentang nyeri. Beberapa aspek kehidupan yang perlu dikaji terkait nyeri adalah tidur, nafsu makan, konsentrasi, pekerjaan, hubungan interpesonal, hubungan pernikahan, aktivitas di rumah, aktivitas waktu seggang serta status emosional.
8). Sumber koping
     Setiap individu memiliki strategi koping yang berbeda dalam menghadapi nyeri. Strategi tersebut dapat dipengaruhi oleh oleh pengalaman nyeri sebelumnya atau pengaruh agama/budaya.
9). Respon afektif
     Respon afektif klien terhadap nyeri bervariasi, tergantung pada situasi, derajat dandurasi nyeri, interpretasi tentang nyeri dan banyak faktor lainnya. Perawat perlu mengkaji adanya perasaan ansietas, takut, lelah, depresi atau perasaan gagal pada diri klien.

b.      Observasi respons perilaku dan fisiologis
Banyak respons nonverbal/perilaku yang bisa dijadikan indikator nyeri diantaranya :
            1). Ekspresi wajah:
a)      Menutup mata rapat-rapat
b)      Membuka mata lebar-lebar
c)      Menggigit bibir bawah
2). Vokalisasi:
a)      Menangis
b)      Berteriak
3). Imobilisasi (bagian tubuh yang mengalami nyeri akan   digerakan tubuh tanpa tujuan yang jelas):
a)         Menendang-nendang
b)        Membolak-balikkan tubuh diatas kasur
Sedangkan respons fisiologis untuk nyeri bervariasi, bergantung pada sumber dan durasi nyeri. Pada awal awitan nyeri akut, respons fisiologis:
a)      Peningkatan tekanan darah
b)       Nadi dan pernapasan
c)      Diaforesis
d)     Dilatasi pupil akibat terstimulasinya sistem saraf simpatis.
Akan tetapi, jika nyeri berlangsung lama dan saraf simpatis telah beradaptasi, respon fisiologis tersebut mungkin akan berkurang atau bahkan tidak ada. Karenanya, penting bagi perawat untuk mengkaji lebih dari satu respons tersebut merupakan indikator yang buruk untuk nyeri.   

          2.  Diagnosa Keperawatan
      a. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik.
      b. Nyeri kronis berhubungan dengan kerusakan jaringan.
3. Perencanaan Keperawatan
      a. Nyeri Akut
          1). Tujuan: Setelah dilakukan selama 1x24 jam tindakan diharapkan nyeri berkurang.
           2). Kriteria hasil:
               - Nyeri berkurang
                - Ekspresi wajah tenang
                - Tanda-tanda vital (TD: 120/80 mmHg, N: 60-100 x/menit, R: 16-20 x/menit).
               - Klien dapat istirahat dan tidur normal sesuai dengan usianya.
                  
Intervensi
Rasional
-          Pantau karakteristik nyeri, catatan laporan verbal, petunjuk nonverbal dan respon hemodinamik
-          Ambil gambar lengkap terhadap nyeri dari pasien termasuk lokasi dan intensitas lamanya, kualitas( dangkal atau menyebar) dan penyebaran
-          Anjurkan pasien untuk melaporkan nyeri dengan segera
-          Bantu melakukan teknik relaksasi misalnya : nafas dalam perlahan perilaku distraksi
-          Visualisasi dan bimbingan imajinasi
-          Periksa tanda-tanda vital sebelum atau sesudah penggunaan obat narkotik
-          Berikan obat analgesic sesuai indikasi
-          Variasi penampilan dan perilaku pasien karena nyeri terjadi sebagai temuan pengkajian
-          Nyeri sebagai pengalaman subjektif dan harus digambarkan oleh pasien. Bantu pasien untuk menilai nyeri dengan membandingkan dengan pengalaman nyeri
-          Penundaan pelaporan nyeri menghambat peredaran nyeri/memerlukan peningkatan dosis obat. Selain itu nyeri berat dapat menyebabkan syok dengan merangsang system syaraf simpatis, mengakibatkan kerusakan lanjut dan mengganggu diagnostic serta hilangnya nyeri
-          Membantu dalam penurunan persepsi/respon nyeri
-          Memberikan control situasi, meningkatkan perilaku positif
-          Hipotensi/depresi pernafasan dapat terjadi sebagai akibat pemberian narkotik
-          Membantu proses penyembuhan pasien

         












b. Nyeri kronis
                  1). Tujuan: Setelah dilakukan selama 2x24 jam tindakan diharapkan   nyeri teratasi sebagian.
                   2). Kriteria hasil:
                        - Skala nyeri dalam rentang 1-3.
                        - Raut muka tidak menahan nyeri.
                        - Klien sudah tidak memegangi area yang nyeri.                      
Intervensi
Rasionalisasi
-          Catat karakteristik nyeri
-          Berikan posisi semi fowler
-          Ajarkan teknik relaksasi
-          Kolaborasi pemberian obat analgesic sesuai dengan indikasi
-          Mempermudah dalam tindakan pengobatan kepada klien
-          Membantu memberikan rasa nyaman kepada klienmenambah pengetahuan pasien dalam mengurangi rasa nyeri
-          Membantu pasien dalam mengurangi rasa nyeri


4. Evaluasi
                                      Evaluasi terhadap masalah nyeri dilakukan dengan menilai kemampuan dalam merespon rangsangan nyeri, di antaranya hilangnya perasaan nyeri, menurunnya intensitas nyeri, adanya respon fisiologis yang baik dan pasien mampu melakukan aktifitas sehari-hari tanpa keluhan nyeri.







DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, Lynda Juall. 1995. Diagnosa Keperawatan. Jakarta: EGC.
Doenges,Marilynn E,dkk.1999.Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Keperawatan Pasien.Jakarta:EGC.

Hidayat,A.Aziz Alimul.2008.Pengantar kebutuhan Dasar Manusia: Aplikasi Konsep dan Proses Keperawatan.Jakarta:Salemba Medika.

Mubarak,Wahit Iqbal dan Nurul Chayatin.2007.Buku Ajar Kebutuhan Dasar Manusia: Teori dan Aplikasi dalam   Praktik.Jakarta:EGC.