Laporan
Pendahuluan Askep Nyeri
LAPORAN PENDAHULUAN
GANGGUAN PEMENUHAN RASA NYAMAN, NYERI
A. Konsep Dasar
1.
Definisi.
a. Menurut
Mc. Coffery (1979), mendefinisikan nyeri sebagai suatu keadaan yang
mempengaruhi seseorang yang keberadaannya diketahui hanya jika orang tersebut
pernah mengalaminya.
b. Menurut Wolf Weifsel Feurst (1972), mengatakan bahwa nyeri merupakan suatu
perasaan menderita secara fisik dan mental atau perasaan yang bisa menimbulkan
ketegangan.
c. Menurut Keperawatan, nyeri adalah apapun yang menyakitkan tubuh yang
dikatakan individu yang mengalaminya, yang ada kapan pun individu
mengatakannya.
d. Menurut International Association for Study of Pain (IASP), nyeri adalah
sensori subjektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang terkait dengan
kerusakan jaringan aktual maupun potensial atau menggambarkan kondisi
terjadinya kerusakan.
2.
Istilah dalam nyeri
a. Nosiseptor adalah serabut saraf yang mentransmisikan nyeri.
b. Non-nosiseptor adalah serabut saraf yang biasanya tidak mentransmisikan
nyeri.
c. Sistem nosiseptif adalah sistem yang terlibat dalam transmisi dan persepsi
terhadap nyeri.
d. Ambang nyeri adalah stimulus yang paling kecil yang akan menimbulkan
nyeri.
e. Toleransi nyeri adalah intensitas maksimum atau durasi nyeri yang dapat
ditahan oleh individu.
3. Sifat-sifat nyeri
a. Nyeri melelahkan dan membutuhkan banyak energi.
b. Nyeri bersifat subjektif dan individual.
c. Nyeri tidak dapat dinilai secara objektif seperti sinar X dan lab darah.
d. Perawat hanya dapat mengkaji nyeri pasien dengan melihat perubahan
fisiologis, tingkah laku, dan dari pernyataan klien.
e. Hanya pasien yang mengetahui kapan nyeri timbul dan seperti apa rasanya.
f. Nyeri merupakan mekanisme pertahanan fisiologis.
g. Nyeri merupakan tanda peringatan adanya suatu kerusakan jaringan.
h. Nyeri mengawali ketidakmampuan.
i. Persepsi yang salah tentang nyeri menyebabkan manajemen nyeri yang tidak
optimal.
Secara ringkas sifat nyeri dapat disimpulkan sebagai
berikut:
a. Nyeri bersifat individu.
b. Nyeri tidak menyenangkan.
c. Merupakan suatu kekuatan yang mendominasi.
d. Bersifat tidak berkesudahan.
4. Fisiologis nyeri
Untuk memudahkan dalam memahami nyeri, maka perlu mempelajari 3 komponen
fisiologi nyeri, antara lain:
a. Resepsi : Proses perjalanan nyeri.
b. Persepsi : Kesadaran seseorang terhadap nyeri.
Adanya stimuli yang mengenai tubuh ( mekanik, termal,
kimia ) akan menyebabkan pelepasan substansi kimia ( histamine, bradikinin,
kalium ). Substansi tersebut menyebabkan nosiseptor bereaksi, apabila
nosiseptor mencapai ambang nyeri maka akan timbul impuls saraf yang akan dibawa
menghantarkan sensasi berupa sentuhan, getaran, suhu hangat dan tekanan halus.
Reseptor terletak di struktur permukaan.
c. Reaksi : Respon fisiologis dan perilaku
setelah mempersepsikan nyeri.
Neuroregulator
a. Substansi yang memberikan efek pada transmisi stimulus saraf, berperan
penting pada pengalaman nyeri.
b. Substansi ini ditemukan pada nociceptor yaitu pada akhir saraf dalam kornu
dorsalis medulla spinalis dan pada tempat reseptor dalam saluran spinotalamik.
c. Neororegulator ada 2 macam yaitu Neurotransmiter dan Neuromodulator.
d. Neurotransmitter mengirimkan impuls elektrik melewati celah sinaptik
antara 2 serabut saraf. ( Contoh: supstansi P, serotonin, prostaglandin ).
e. Neuromodulator memodifikasi aktivitas saraf dan mengatur transmisi stimulus
saraf tanpa mentransfer secara langsung sinyal saraf yang melalui synaps. (
Contoh: endorphin, bradikinin ).
f. Neuromodulator diyakini aktivitasnya secara tidak langsung bisa
meningkatkan atau menurunkan efek sebagai neurotransmitter.
5. Teory Gate Control
Teori ini dikenal oleh Melzak dan Wall pada tahun 1965. Menurut teori ini,
sinaps yang berada pada dorsal hom bekerja seperti sebuah pintu membuka atau
menutup sehingga apabila ada rangsang nyeri pintu tersebut akan ditutup
sehingga nyeri tersebut tidak sampai di otak atau pintu itu dibuka sehingga
nyeri sampai ke otak. Hipotesis teori ini adalah apabila ada sejumlah impuls
nyeri yang berjalan sepanjang serabut saraf tebal ( seperti: panas, dingin atau
sentuhan), maka sejumlah impuls nyeri tersebut berusaha untuk dicegah dengan
cara menutup pintu pada serabut saraf tersebut. Individu akan merasakan nyeri
hanya jika pintu sinaps dibukivata atau impuls sangat dominan.
6. Respon fisiologis terhadap nyeri
a. Stimulasi Simpatik: ( nyeri ringan, moderat, dan superficial ).
1) Dilatasi saluran bronchial dan peningkatan respirasi rate.
2) Peningkatan heart rate.
3) Vasokontriksi perifer, peningkatan Blood Pessure.
4) Peningkatan nilai gula darah.
5) Peningkatan kekuatan otot.
6) Dilatasi pupil.
7) Penurunan motilitas GI.
b. Stimulus Parasimpatik ( nyeri berat dan dalam ).
1) Muka pucat.
2) Otot mengeras.
3) Penurunan Heart Rate dan Blood Pressure.
4) Nafas cepat dan irregular.
5) Nausea dan Vomitus (Mual & Muntah).
6) Kelelahan dan Keletihan.
7. Respon tingkah laku terhadap nyeri
Respon tingkah laku terhadap nyeri dapat mencakup:
a. Pernyataan verbal (mengaduh, menangis, sesak napas, mendengkur).
b. Ekspresi wajah (meringis, menggeletukkan gigi, menggigit bibir)
c. Gerakan tubuh (gelisah, imobilisasi, ketegangan otot, peningkatan gerakan
jari dan tangan.
d. Kontak dengan orang lain/ interaksi sosial (menghindari percakapan,
menghindari kontak sosial, penurunan rentang perhatian, fokus pada aktivitas
menghilangkan nyeri.
8. Respon individu terhadap nyeri
Respon tubuh terhadap nyeri ada 3 tahap, yaitu:
a. Tahap aktivasi (activation)
Dimulai
saat pertama individu menerima rangsang nyeri sampai tubuh bereaksi terhadap
nyeri yang meliputi : respon simpato adrenal, respon muskuler, dan respon
emosional.
Respon
Simpato Adrenal
|
Respon
Muskuler
|
Respon
Emosional
|
1. Denyut nadi naik.
2. Tekanan darah naik.
3. Pernapasan naik.
4. Berkeringat banyak.
5. Mual dan muntah, karena darah
mengalir dari otot visral ke otot paru, jantung, dan otot keras.
6. Pucat.
7. Dilatasi bronchial.
8. Glikogenolisis.
9. Pelepasan eritrosit dari limpa.
10. Dilatasi pupil.
|
1. Tensi otot naik.
2. Otot kaku menggeliat sakit.
3. Gelisah.
4. Mengambil posisi tertentu.
5. Imobilitas.
6. Mengusap daerah yang nyeri.
|
1. Bergejolak.
2. Mudah tersinggung.
3. Perubahan tingkah laku.
4. Berteriak.
5. Menangis.
6. Diam.
7. Kewaspadaan.
|
b. Tahap Pemantulan (rebound).
Pada tahap ini nyeri sangat hebat tetapi
singkat. Pada tahap ini pula sistem saraf parasimpatis mengambil alih tugas,
sehingga terjadi respon yang berlawanan terhadap tahap aktivasi.
c. Tahap adaptasi (adaptation).
Saat nyeri berlangsung lama
tubuh mencoba untuk beradaptasi melalui peran endorthins. Reaksi adaptasi tubuh
ini terhadap nyeri dapat berlangsung beberapa jam atau beberapa hari. Bila
nyeri berkepanjangan maka akan menurunkan sekresi norepineprin sehingga individu
merasa tidak berdaya, tidak berharga dan lesu.
9. Fase Nyeri
Menurut Meinhart dan McCaffery mendiskripsikan 3 fase pengalaman nyeri:
a. Fase antisipasi, terjadi sebelum nyeri diterima.
Fase ini bukan merupakan fase yang paling
penting, karena fase ini bisa mempengaruhi dua fase lain. Pada fase ini
memungkinkan seseorang belajar tentang nyeri dan upaya untuk menghilangkan
nyeri tersebut. Peran perawat dalam fase ini sangat penting , terutama dalam
memberikan informasi pada klien.
b. Fase sensasi, terjadi saat nyeri terasa.
Fase ini terjadi ketika klien merasa
nyeri, karena nyeri itu bersifat subjektif, maka tiap orang dalam menyikapi
nyeri juga berbeda-beda. Toleransi terhadap nyeri juga akan berbeda antara satu
orang dengan yang lain. Orang yang mempunyai tingkat toleransi tinggi terhadap
nyeri tidak akan mengeluh nyeri dengan stimulus kecil, sebaliknya orang yang
toleransi terhadap nyerinya rendah akan mudah merasa nyeri dengn stimulus nyeri
kecil. Klien dengan tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri mampu menahan nyeri
tanpa bantuan, sebaliknya orang toleransi terhadap nyerinya rendah sudah
mencari upaya pencegahan nyeri, sebelum nyeri datang. Keberadaan enkefalin dan
endorphin membantu menjelaskan bagaimana orang yang berbeda merasakan tingkat
nyeri dari stimulus yang sama. Kadar endorphin tiap individu, individu dengan
endorphin tinggi sedikit merasakan nyeri dan individu dengan sedikit endorphin
merasakan nyeri lebih besar.
c. Fase akibat (aftermath)
Fase ini terjadi saat nyeri sudah
berkurang atau hilang. Pada fase ini klien masih membutuhkan kontrol dari
perawat, karena nyeri bersifat krisis, sehingga dimungkinkan klien mengalami
gejala pasca nyeri. Apabila klien mengalami episode nyeri berulang, maka respon
akibat (aftermath) dapat menjadi masalah kesehatan yang berat. Perawat berperan
dalam membantu memperoleh kontrol diri untuk meminimalkan rasa takut akan
kemungkinan nyeri berulang.
10. Klasifikasi nyeri
a. Berdasarkan sumbernya
1) Cutaneus/ superficial, yaitu nyeri yang mengenai kulit atau jaringan
subkutan. Biasanya bersifat burning (seperti terbakar).
Contoh: Terkena ujung pisau atau tergunting
2) Deep somatic/ nyeri dalam, yaitu nyeri yang muncul dari ligament, pembuluh
darah, tendon dan saraf, nyeri menyebar dan lebih lama daripada cutaneus.
Contoh: Sprain sendi
3) Visceral (pada organ dalam), stimulasi reseptor nyeri dalam rongga abdomen,
cranium dan thorak. Biasanya terjadi karena spasme otot, ischemia, regangan
jaringan.
b. Berdasarkan Penyebabnya
1) Fisik
Bisa terjadi karena stimulus.
Contoh: fraktur femur
2) Psycogenik
Terjadi karena sebab yang kurang jelas/ susah
diidentifikasi, bersumber dari emosi/ psikis dan biasanya tidak disadari.
Contoh: orang yang marah-marah, tiba-tiba merasa nyeri
pada dadanya.
c. Berdasarkan lama/ durasi
1) Nyeri akut
Nyeri yang terjadi segera setelah tubuh mengalami cedera, atau intervensi bedah
dan memiliki awitan yang cepat, dengan intensitas bervariasi dari berat sampai
ringan. Fungsi nyeri ini adalah sebagai pemberi peringatan akan adanya cedera
atau penyakit yang akan datang. Nyeri ini kadang bisa hilang sendiri tanpa
adanya intervensi medis, setelah keadaan pulih pada area yang rusak.
2) Nyeri kronik
Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermiten yang menetap sepanjang suatu
periode tertentu, berlangsung lama, intensitas bervariasi, dan biasanya
berlangsung lebih dari 6 bulan. Nyeri ini disebabkan oleh kanker yang tidak
terkontrol, karena pengobatan kanker tersebut atau karena gangguan progresif
lain. Nyeri ini dapat berlangsung terus sampai kematian. Klien yang mengalami
kronis akan mengalami periode remisi (gejala hilang sebagian/ keseluruhan) dan
eksaserbasi (keparahan meningkat). Nyeri ini biasanya tidak memberikan respon
terhadap pengobatan yang diarahkan pada penyebabnya. Nyeri ini merupakan
penyebab utama ketidakmampuan fisik dan psikologis. Sifat nyeri kronis yang
tidak dapat diekspresikan membuat klien menjadi frustasi dan seringkali
mengarah pada depresi psikologis. Individu yang mengalam kronik akan timbul
perasaan yang tidak aman, karena ia tidak tahu apa yang akan dirasakan dari
hari ke hari.
Perbedaan nyeri akut dan nyeri kronis
Nyeri akut
|
Nyeri
kronik
|
1. Lamanya dalam hitungan menit (lamanya 1 detik sampai
kurang dari 6 bulan).
2. Ditandai dengan peningkatan BP, nadi, dan respirasi.
3. Respon pasien: fokus pada nyeri, menyatakan nyeri
dengan menangis atau mengerang.
4. Tingkah laku menggosok bagian yang nyeri.
|
1. Lamanya dalam hitungan bulan (> 6 bulan).
2. Fungsi fisiologis bersifat normal.
3. Tidak ada keluhan nyeri.
4. Tidak ada aktifitas fisik sebagai respon terhadap
nyeri.
|
d. Berdasarkan lokasi/ letak
1) Radiating pain
Nyeri menyebar dari sumber nyeri ke jaringan di
dekatnya (contoh: cardiac pain).
2) Reffered pain
Nyeri di rasakan pada bagian tubuh tertentu yang
diperkirakan berasal dari jaringan penyebab.
3) Intracable pain
Nyeri yang sangat susah dihilangkan (contoh: nyeri
kanker maligna).
4) Phantom pain
Sensasi nyeri dirasakan pada bagian tubuh yang hilang
(contoh: bagian tubuh yang di amputasi) atau bagian tubuh yang lumpuh karena
injury medulla spinalis.
11. Faktor yang mempengaruhi respon nyeri
a. Usia
Anak belum bisa
mengungkapkan nyeri, sehingga perawat harus mengkaji respon nyeri pada anak.
Pada orang dewasa kadang melaporkan nyeri jika sudah patologis dan mengalami
perubahan fungsi. Pada lansia cenderung memendam nyeri yang dialami, karena
mereka menganggap nyeri adalah hal yang alamiah yang harus dijalani dan mereka
takut kalau mengalami penyakit berat atau meninggal jika nyeri diperiksakan.
b. Jenis Kelamin
Gill (1990)
mengungkapkan laki-laki dan wanita tidak berbeda secara signifikan dalam
merespon nyeri, justru lebih dipengaruhi faktor budaya (contoh: tidak pantas
kalau laki-laki mengeluh nyeri, wanita boleh mengeluh nyeri).
c. Kultur
Orang belajar dari
budayanya, bagaimana seharusnya mereka meresapon nyeri (contoh: suatu daerah
yang menganut kepercayaan bahwa nyeri adalah akibat dari kesalahannya sendiri).
d. Makna nyeri
Berhubungan dengan
bagaimana pengalaman seseorang terhadap nyeri dan bagaimana mengatasinya.
e. Perhatian
Tingkat seorang klien
memfokuskan perhatian pada nyeri dapat mempengaruhi persepsi nyeri. Menurut
Gill (1990), perhatian yang meningkat dihubungkan dengan nyeri yang meningkat,
sedangkan upaya distraksi dihubungkan dengan respon nyeri yang menurun. Teknik
relaksasi, guided imagery merupakan teknik untuk mengatasi nyeri.
f. Ansietas
Cemas meningkatkan persepsi
terhadap nyeri dan nyeri bisa menyebabkan seseorang cemas.
g. Pengalaman masa lalu
Seseorang yang
pernah berhasil mengatasi nyeri di masa lampau dan saat ini nyeri yang lama
timbul kembali, maka ia akan lebih mudah mengatasi nyerinya. Mudah tidaknya
seseorang mengatasi nyeri tergantung pengalaman di masa lalu dalam mengatasi
nyeri.
h. Pola koping
Pola koping
adaptif akan mempermudah seseorang mengatasi nyeri dan sebaliknya koping
maladaptif akan menyulitkan seseorang dalam mengatasi nyeri.
i. Support keluarga dan sosial
Individu yang mengalami
nyeri seringkali bergantung kepada anggota keluarga atau teman dekat untuk
memperoleh dukungan, bantuan dan perlindungan.
Jenis Penyebab Nyeri
Jenis penyebab
|
Dasar fisiologis
|
1. Mekanik
- Trauma jaringan (ex: operasi).
- Perubahan jaringan
(ex:edema).
- Penyumbatan pada saluran
tubuh.
- Tumor.
- Spasme otot.
2. Termal
Panas/ dingin (ex: combustio).
3. Kimia
- Iskemia jaringan karena
sumbatan arteri koroner.
- Spasme otot.
|
- Kerusakan jaringan, iritasi langsung pada reseptor nyeri, inflamasi.
- Penekanan pada reseptor nyeri
- Distensi pada lumen
- Penekanan pada reseptor nyeri, iritasi ujung
saraf.
- Stimulasi pada reseptor nyeri.
- Kerusakan jaringan, perangsangan pada reseptor
nyeri.
- Perangsangan pada reseptor nyeri karena akumulasi
asam laktat atau zat kimia lain seperti asam laktat pada jaringan.
- Sekunder terhadap stimulasi mekanik yang
menyebabkan iskemia jaringan.
|
12. Management Nyeri
a. Management Farmakologi, terdiri atas:
1) Analgesik non opioids
Termasuk nonsteroidal anti inflamatory drugs ( NSAIDS
), seperti: Aspirin, acetaminophen, dan ibuprofen. Menurut American Pain
Society, obat-obatan ini bekerja pada saraf perifer di daerah luka dan
menurunkan tingkat/ level inflamasi.
2) Analgesik opioids
Analgesik opioids termasuk opium derivate, seperti
morfin dan kodein. Obat-obat ini bekerja dengan cara mengubah mood, perhatian,
perasaan pasien menjadi lebih baik, dan lebih nyaman walaupun terdapat nyeri.
3) Analgesik adjuvant.
Analgesik adjuvant adalah terapi pengobatan selain
menggunakan analgesic, tetapi dapat mengurangi tipe-tipe nyeri kronik.
Contohnya Diazepam (Valium) yang dapat menggunakan rasa nyeri pada saat terjadi
spasme otot membantu bisa tidur nyenyak.
b. Management non Farmakologi, terdiri atas:
1) Intervensi fisik
Tujuan dari intervensi fisik adalah:
a) Membuat nyaman.
b) Mengurangi disfungsi fisik.
c) Menormalkan respon fisiologis.
d) Mengurangi ketakutan.
2) Cutaneous Stimulation
Yang termasuk cutaneous stimulation:
a) Pemijatan/massage
b) Kompres
panas/dingin
c) Asupressure
d) Contralateral
Stimulation
3) Immobilisasi
Biasanya korban tidur di splint yang biasanya diterapkan pada saat kontraktur
atau terjadi ketidakseimbangan otot. Splint ini harus diubah posisinya tiap 30
menit untuk mencegah terjadinya penyakit baru seperti dicubitus.
4) TENS
Transcutaneous electrice nerve stimulation (TENS) adalah noninvasive, teknik
control nyeri nonalgesic untuk klien dengan nyeri akut ataupun kronik.
5) Akupuntur
Akupuntur telah diterapkan di China dan mendapat perhatian tinggi dari Amerika
Utara. Biasanya digunakan untuk nyeri akut.
6) Placebo
Placebo adalah salah satu bentuk treatment seperti medikasi atau tindakan
keperawatan ya ng menghasilkan efek pada klien, bahwa tindakan yang dilakukan
atau yang diberikan perawat dapat menyembuhkan penyakit.
7) Distraksi
Contoh dari distraksi adalah pada saat klien dipindahkan dari ruang bedah
mungkin tidak merasakan nyeri saat melihat pertandingan sepak bola di televisi,
tapi nyeri akan dirasakan lagi pada saat pertandingan itu sudah selesai.
8) Hypnosis
Hypnosis digunakan untuk
memfokuskan konsentrasi dan meminimalisir distraksi.
9) Relaksasi
Macam-macam teknik relaksasi : meditasi, yoga, dan latihan
relaksasi progresif. Teknik ini tidak dilakukan pada pasien yang nyeri akut
karena ketidakmampuan berkonsentrasi. Latihan relaksasi progresif mencakup
latihan control nafas, kontraksi, dan relaksasi otot.
B. Asuhan
Keperawatan
1. Pengkajian
Pengkajian
nyeri akurat penting untuk upaya penatalaksanaan nyeri yang afektif. Karena
nyeri merupakan pengalaman yang subjektif dan dirasakan secara berbeda pada
masing-masing individu, maka perawat perlu mengkaji semua factor yang
mempengaruhi nyeri, seperti factor fisiologis, psikologis, perilaku, emosional,
dan sosiokultural. Pengkajian nyeri terdiri atas dua komponen utama, yakni (a)
riwayat nyeri untuk mendapatkan data dari klien dan (b) observasi langsung pada
respon perilaku dan fisiologis klien. Tujuan pengkajian adalah untuk
mendapatkan pemahaman objektif terhadap pengalaman subjek. Pengkajian dapat
dilakukan dengan cara PQRST :
· P (pemicu) yaitu faktor yang mempengaruhi gawat atau ringannya
nyeri.
· Q (quality) dari nyeri, apakah rasa tajam, tumpul atau tersayat.
· R (region) yaitu daerah perjalanan nyeri.
· S (severty) adalah keparahan atau intensits nyeri.
· T (time) adalah lama/waktu serangan atau frekuensi nyeri.
a. Riwayat
Nyeri
Saat mengkaji
riwayat nyeri, perawat sebaiknya memberikan klien kesempatan untuk
mengungkapkan cara pandang mereka terhadap nyeri dan situasi tersebut dengan
kata-kata mereka sendiri. Langkah ini akan membantu perawt memahami makna nyeri
bagi klien dan bagaimana ia berkoping terhadap aspek, antara lain :
1). Lokasi
Untuk
menentukan lokasi nyeri yang spesifik, minta klien menunjukkan area nyerinya.
Pengkajian ini biasanya dilakukan dengan bantuan gambar tubuh. Klien biasanya
menandai bagian tubuhnya yang mengalami nyeri. Ini sangat bermanfaat, terutama
untuk klien yang memiliki lebih dari satu sumber nyeri.
2). Intensitas Nyeri
Penggunaan
skala intensitas nyeri adalah metode yang mudah dan terpercaya untuk menentukan
intensitas nyeri pasien. Skala nyeri yang paling sering digunakan adalah
rentang 0-5 atau 0-10. Angka “0” menandakan tidak nyeri sama sekali dan angka
tertinggi menandakan nyeri “terhebat” yang dirasakan klien. Intensitas nyeri
dapat diketahui dengan bertanya kepada pasien melalui skala nyeri wajah, yaitu
Wong-Baker FACES Rating Scale yang ditujukan untuk klien yang tidak mampu
menyatakan intensitas nyerinya melalui skala angka. Ini termasuk anak-anak yang
tidak mampu berkomunikasi secara verbal dan lan sia yang mengalami gangguan
komunikasi.
Keterangan
·
0
: Tidak nyeri
· 1-3 : Nyeri ringan (secara obyektif klien dapat berkomunikasi
dengan baik).
· 4-6 : Nyeri sedang (secara obyektif klien mendesis,
menyeringai, dapat menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskribsikan nyeri, dapat
mengikuti perintah dengan baik).
· 7-9 : Nyeri berat (secara obyektif klien terkadang
tidak dapat mengikuti perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat
menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikan nyeri, tidak dapat
diatasi dengan alih posisi, napas panjang dan distraksi.
· 10 :Nyeri sangat berat (klien sudah tidak
bisa
berkomunikasi).
3). Kualitas Nyeri
Terkadang nyeri bisa terasa seperti “dipukul-pukul” atau “ditusuk-tusuk”.
Perawat perlu mencatat kata-kata yang digunakan klien untuk menggambarkan
nyerinya sebab informasi yang akurat dapat berpengaruh besar pada diagnosis dan
etiologi nyeri serta pilihan tindakan yang diambil.
4). Pola
Pola nyeri meliputi: waktu awitan, durasi/lamanya nyeri dan kekambuhan atau
interval nyeri. Karenanya, perawat perlu mengkaji kapan nyeri dimulai, berapa
lama nyeri berlangsung, apakah nyeri berulang dan kapan nyeri terakhir kali
muncul.
5). Faktor Presipitasi
Terkadang aktivitas tertentu dapat memicumunculnya nyeri. Sebagai contoh:
aktivitas fisik yang berat dapat menimbulkan nyeri dada. Selain itu, faktor
lingkungan (lingkungan yang sangat dingin atau sangat panas), stresor fisik dan
emosional juga dapat memicu munculnya nyeri.
6). Gejala yang menyertai
Gejala ini meliputi: mual, muntah, pusing dan diare. Gejala tersebut bisa
disebabkan oleh awitan nyeri atau oleh nyeri itu sendiri.
7). Pengaruh aktifitas sehari-hari
Dengan mengetahui sejauh mana nyeri mempengaruhi aktivitas harian klien akan akan
membantu perawat memahami persepsi klien tentang nyeri. Beberapa aspek
kehidupan yang perlu dikaji terkait nyeri adalah tidur, nafsu makan,
konsentrasi, pekerjaan, hubungan interpesonal, hubungan pernikahan, aktivitas
di rumah, aktivitas waktu seggang serta status emosional.
8). Sumber koping
Setiap individu memiliki strategi koping yang berbeda dalam menghadapi nyeri.
Strategi tersebut dapat dipengaruhi oleh oleh pengalaman nyeri sebelumnya atau
pengaruh agama/budaya.
9). Respon afektif
Respon afektif klien terhadap nyeri bervariasi, tergantung pada situasi,
derajat dandurasi nyeri, interpretasi tentang nyeri dan banyak faktor lainnya.
Perawat perlu mengkaji adanya perasaan ansietas, takut, lelah, depresi atau
perasaan gagal pada diri klien.
b. Observasi respons perilaku dan fisiologis
Banyak respons
nonverbal/perilaku yang bisa dijadikan indikator nyeri diantaranya :
1). Ekspresi wajah:
a) Menutup mata rapat-rapat
b) Membuka mata lebar-lebar
c) Menggigit bibir bawah
2). Vokalisasi:
a) Menangis
b) Berteriak
3). Imobilisasi
(bagian tubuh yang mengalami nyeri akan digerakan tubuh tanpa
tujuan yang jelas):
a) Menendang-nendang
b) Membolak-balikkan tubuh diatas kasur
Sedangkan
respons fisiologis untuk nyeri bervariasi, bergantung pada sumber dan durasi
nyeri. Pada awal awitan nyeri akut, respons fisiologis:
a) Peningkatan tekanan darah
b) Nadi dan pernapasan
c) Diaforesis
d) Dilatasi pupil akibat terstimulasinya sistem saraf simpatis.
Akan tetapi,
jika nyeri berlangsung lama dan saraf simpatis telah beradaptasi, respon
fisiologis tersebut mungkin akan berkurang atau bahkan tidak ada. Karenanya,
penting bagi perawat untuk mengkaji lebih dari satu respons tersebut merupakan
indikator yang buruk untuk nyeri.
2.
Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik.
b. Nyeri kronis berhubungan dengan kerusakan jaringan.
3. Perencanaan Keperawatan
a. Nyeri Akut
1). Tujuan: Setelah dilakukan selama 1x24 jam tindakan diharapkan
nyeri berkurang.
2). Kriteria hasil:
- Nyeri berkurang
- Ekspresi wajah tenang
- Tanda-tanda vital (TD: 120/80 mmHg, N: 60-100
x/menit, R: 16-20 x/menit).
- Klien dapat istirahat dan tidur normal sesuai dengan usianya.
Intervensi
|
Rasional
|
- Pantau karakteristik nyeri, catatan laporan verbal, petunjuk nonverbal
dan respon hemodinamik
- Ambil gambar lengkap terhadap nyeri dari pasien termasuk lokasi dan
intensitas lamanya, kualitas( dangkal atau menyebar) dan penyebaran
- Anjurkan pasien untuk melaporkan nyeri dengan segera
- Bantu melakukan teknik relaksasi misalnya : nafas dalam perlahan perilaku
distraksi
- Visualisasi dan bimbingan imajinasi
- Periksa tanda-tanda vital sebelum atau sesudah penggunaan obat narkotik
- Berikan obat analgesic sesuai indikasi
|
- Variasi penampilan dan perilaku pasien karena nyeri terjadi sebagai
temuan pengkajian
- Nyeri sebagai pengalaman subjektif dan harus digambarkan oleh pasien.
Bantu pasien untuk menilai nyeri dengan membandingkan dengan pengalaman nyeri
- Penundaan pelaporan nyeri menghambat peredaran nyeri/memerlukan
peningkatan dosis obat. Selain itu nyeri berat dapat menyebabkan syok dengan
merangsang system syaraf simpatis, mengakibatkan kerusakan lanjut dan
mengganggu diagnostic serta hilangnya nyeri
- Membantu dalam penurunan persepsi/respon nyeri
- Memberikan control situasi, meningkatkan perilaku positif
- Hipotensi/depresi pernafasan dapat terjadi sebagai akibat pemberian
narkotik
- Membantu proses penyembuhan pasien
|
b. Nyeri kronis
1). Tujuan: Setelah dilakukan selama 2x24 jam
tindakan diharapkan nyeri teratasi sebagian.
2). Kriteria hasil:
- Skala nyeri dalam rentang 1-3.
- Raut muka tidak menahan nyeri.
- Klien sudah tidak memegangi area yang
nyeri.
Intervensi
|
Rasionalisasi
|
- Catat karakteristik nyeri
- Berikan posisi semi fowler
- Ajarkan teknik relaksasi
- Kolaborasi pemberian obat analgesic sesuai dengan indikasi
|
- Mempermudah dalam tindakan pengobatan kepada klien
- Membantu memberikan rasa nyaman kepada klienmenambah pengetahuan pasien
dalam mengurangi rasa nyeri
- Membantu pasien dalam mengurangi rasa nyeri
|
4. Evaluasi
Evaluasi terhadap masalah nyeri dilakukan dengan menilai kemampuan dalam
merespon rangsangan nyeri, di antaranya hilangnya perasaan nyeri, menurunnya
intensitas nyeri, adanya respon fisiologis yang baik dan pasien mampu melakukan
aktifitas sehari-hari tanpa keluhan nyeri.
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, Lynda Juall. 1995. Diagnosa
Keperawatan. Jakarta: EGC.
Doenges,Marilynn
E,dkk.1999.Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Keperawatan Pasien.Jakarta:EGC.
Hidayat,A.Aziz
Alimul.2008.Pengantar kebutuhan Dasar Manusia: Aplikasi Konsep dan Proses
Keperawatan.Jakarta:Salemba Medika.
Mubarak,Wahit
Iqbal dan Nurul Chayatin.2007.Buku Ajar Kebutuhan Dasar Manusia: Teori dan
Aplikasi dalam Praktik.Jakarta:EGC.